this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 1

Bab 1




Sabtu malam. Disebuah kafe yang tenang dibilangan kota Jakarta.
“Tapi, kan..... lo udah punyaaa........” Resty tidak melanjutkan kata-katanya.
Hening.
“Manda?” Orang itu meneruskan kata-kata Resty. “Itu kan yang mau lo bilang?”
Resty mengangguk.
“Yaudah...trus kenapa kalo gue udah punya Manda?” katanya lagi.
“Ya, kalo lo udah sama Manda ngapain juga lo nembak gue?”
“Karena gue sukanya sama lo.”
Resty tersentak.
“Sedikit pun gue gak pernah suka sama Manda.”
“Tapi gue gak pernah ngeliat kalo lo gak suka sama Manda?” kata Resty. “Lo keliatan sayang banget sama Manda.”
“Akting.”
“Buat apa? Kenapa lo harus akting?”
“Gak tau....” katanya dengan nada remeh. “Gue sendiri juga bingung.”
“Oh, gitu?!! Trus yang barusan lo omongin juga akting?” kata Resty lalu beranjak pergi.
“Res!!! Tunggu, Res.....Res!!”
Resty tidak memperdulikan. Ia terus berjalan. Maunya dia tuh apa, sih! marahnya dalam hati. Ia tidak pernah membayangkan akan begini. Tadi sore ia semangat sekali waktu ditelpon. Ia pun langsung mandi. Memakai pakaian terbaiknya. Parfum milik kakaknya pun dia embat. Tapi sekarang ia berjalan penuh penyesalan. Berharap hari ini hanyalah mimpi. Padahal dulu ia sangat mengharapkan moment seperti ini terjadi. Dia memang suka sama Vino, tapi bukan cara kayak gini yang dia mau.


Sementara itu. Pada saat yang sama, di lain tempat.
Darkroom atau photo lab.
Ruangan tertutup dengan lampu berwarna merah yang menerangi seluruh ruangan. Gia sedang mencetak hasil jepretannya dibantu oleh Opank.
“Tumben lo gak pake yang digital?” tanya Opank. “Kan enak tinggal ngeprint. Gak perlu susah-susah nyuci kayak gini. Belom lagi kalo gagal.”
Gia menggelengkan kepalanya. “Gue lagi pengen coba pake yang biasa. Udah lama banget gak pake kamera yang kayak begitu.”
“Oiya, gue mau ngadain pameran fotografi. Tapi gue juga mau kolaborasi sama beberapa temen-temen gue termasuk elo.”
“Apa? Pameran? Yang bener nih?” kata Gia gak percaya saking senengnya.
“Iya....pameran. Terserah lo mau nampilin foto apa aja. Bebas. Gak ada temanya.”
“Yaudah....nanti gue serahin foto-foto gue.” kata Gia. “Kapan pamerannya?”
“Yaaah...sekitar akhir bulan depan lah. Nanti gue kabarin lagi. pokoknya lo ngumpulin foto aja dulu yang banyak. Nanti baru dipilihin.” Kata Opank. “Tapi gue pengennya bikin pameran yang ada hiburannya. Kira-kira apa, ya, Gi?”
“Hiburan? Maksud lo kayak live performance, gitu?”
“Ya....kira-kira gitu, deh.”
Tiba-tiba handphone Gia berbunyi.
“Bentar.” Kata Gia pada Opank lalu menjawab telponnya. “Ya, Res...................”


Dilain tempat lagi. Kamar Tya tepatnya. Ia sedang sibuk mengetik proyek novelnya di notebook-nya ditemani dengan MP3 player yang ia dengarkan melalui earphone dan disetel dengan volume full. Sampai-sampai ia tidak mendengar kalau dari tadi handphone-nya berbunyi.

***

Minggu pagi yang hangat.
Tya sedang lompat-lompat ditrampolinnya yang terletak di taman belakang. Sudah sejak dua puluh menit yang lalu ia melompat-lompat seperti itu.
Toret...toret...toret...toreretreret..reret............... *handphone Tya berbunyi*. Ia melompat kerumput dan langsung nyungsep saat itu juga. Ia meraih handphonenya yang berada di lantai teras belakang, tidak jauh dari tempat ia lompat-lompat. Layar handphonennya menunjukan sebuah nomer yang gak terdaftar di handphonenya.
“Hallo.....” jawab Tya.
“Ya.. hallo. Lindung Siahaannya ada?” kata suara diseberang sana dengan logat batak.
“Lindung Siahaan?” Tya balik bertanya dengan nada heran. “Salah sambung kali, Mas.”
Tut....tut...tuuuuut....... *Tya mematikan handphone-nya*.
Tya kembali lompat-lompat. Tapi gak lama kemudian handphone-nya bunyi lagi. Ia pun kembali nyungsep. Masih nomer yang sama.
“Hallo.....” jawab Tya sambil meringis kesakitan.
“Lindung siahaannya ada?”
Buset deh nih orang dibilangin salah sambung masih aja nelpon. Batin Tya.
“Disini gak ada Lindung. Adanya belut!!”
Tya mematikan handphone-nya.
Gak lama kemudian handphonennya bunyi lagi sebelum sempat ia naik ketrampolin. Ia pun langsung manjawab telponnnya.
“Aduh Mas...kan udah saya bilang. Disini gak ada yang namanya Lindung. Adanya belut!! Tuh baru aja digoreng sama pembantu saya.” Sosor Tya.
“Ha-hallo....Ty... ini gue.”
Tya menatap layar handphonennya. Disana tertera nama Gia.
“Eh....elo, Gi....”
“Lindung? Belut? Apaan, sih? Lo kenapa, Ty?”
“E...eeeee....gak...kok.. gak kenapa-kenapa.” Kata Tya.
“Lo kemaren kemana? Kata Resty, dia nelponin lo tapi gak lo angkat.”
“Hmmm... gak kemana-mana. Mungkin gue gak denger kali.”
“Eh, Ty...entar siang ke studionya Opank, yuk. Lo gak kemana-mana, kan?”
“Gak siiih...emangnya ada apaan?”
“Yaa...gak ada apa-apa. Dari pada lo dirumah doang. Sekalian nanti gue mau bantuin Opank photo session.” Kata Gia. “Nanti gue sama Resty jemput elo.”
“Oh...ok, deh.”

***

Sebuah Lancer hitam, ceper *Wah...ini kalo manusia hina banget nih* melaju di Jalanan kota Jakarta. Tiga cewek yang menunggangi Lancer itu pun sama-sama terdiam. Bisu. Tidak ada pembicaraan. Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Sementara itu penyiar radio yang dari tadi ngoceh panjang lebar plus cekakan sendirian kayak orang gila malah dicuekin sama tiga cewek itu.
“Kenapa, sih warna Jakarta harus oren?” kata Gia saat melihat seragam tukang sampah yang berwarna oren. Gak cuma itu aja, dia pernah dapet kaos Jakarta yang ada tulisan ‘Enjoy Jakarta’ warnanya oren juga. Lalu dia juga keingetan sama kendaraan ajep-ajepnya kota Jakarta, yaitu Bajaj. Dari situlah akhirnya ia melontarkan pertanyaan itu.
“Ya biar mencolok, lah...” kata Tya sambil main game di handphonenya. “Kan yang mencolok itu lebih gampang keliatan.”
“Kalo mau mencolok kenapa gak merah aja sekalian? Kan mencolok banget tuh.”
“Gak bisa gitu, Gi.” Kata Tya lagi sambil membombardir sang musuh yang dateng bertubi-tubi. “Masalahnya warna merah udah ada di bendera kita, jadi diambil lah warna oren. Lagi pula Jakarta kan identik banget dengan suku Betawi.”
“Apa hubungannya?”
“Orang Betawi kan sukanya warna yang mencolok-mencolok gitu. Mungkin dari situ akhirnya diambil warna oren.”
“Loh...gak bisa gitu dong. Masak cuma terpaku sama satu suku aja? Sebagai ibu kota harusnya lebih bisa nasionalis dong.”
“Iyaaa....tapi kan Jakarta emang dari dulu udah identik banget sama Betawi. Lagi pula suku yang lainnya juga udah punya kota sendiri-sendiri untuk mamerin kebudayaan sukunya.” Kata Tya.
Gia mengangguk-angguk tanda setuju lalu sibuk lagi dengan kameranya. Tapi gak lama kemudian, ia kembali membuka forum saat ia melihat sesutu di jalanan. “Tapi, Ty... Kan kata lo, Jakarta identik sama warna-warna Betawi yang mencolok-mencolok gitu tuh. Tapi kenapa warna cat trotoar cuma item-putih? Kenapa gak dibikin warna-warni juga?”
“Ya lo yang bener aja dong, Gi. Lo kira Jakarta sirkus? Klo gitu badan lo aja sekalian gue bikin warna-warni.” kata Tya. “Lagian harga cat mahal tau!!”
Kali ini Gia tertawa. “Dasar bego....Bener juga lo.”
“Yah....kalah!! Padahal sedikit lagi nilai gue masuk top score.” Kata Tya yang akhirnya kalah melawan raja di stage berikutnya dan memilih untuk meng-close permainannya. Lalu ia melihat keluar jendela mobil. Jakarta sepi. Itulah hal pertama yang ia pikirkan. “Orang Jakarta pada kemana, sih? Sepi banget. Padahalkan ini malem minggu.” tanya Tya sambil mulai menguliti kulit disekitar kukunya lalu ia gigiti.
“Kalo macet, marah-marah. Giliran sepi nanya-nanya.” Kata Gia yang kembali sibuk dengan kameranya.
“Lho...wajar dong gue nanya gitu. Manusiawi, kan kalo gue nanyain sesuatu yang biasanya jadi rutinitas trus sekarang nggak.”
“Manusiawi, sih manusiawi. Tapi kalo ngomong yang konsisten dong.”
“Maksud lo?”
Perdebatan gini sering banget terjadi diantara Gia dan Tya. Dan biasanya yang mereka debatin adalah hal yang gak penting, tapi kalo mereka yang debatin, masalah yang gak penting kadang jadi penting *Kadang doang*. Kalo udah mulai bikin pusing, biasanya Resty langsung turun tangan.
“Plis dong. Jangan mulai lagi, deh.” kata Resty menengahi perdebatan mereka. “Gue jadi gak konsen, nih nyetirnya.”
Mereka pun diam. Dan pada akhirnya mendengarkan si penyiar radio.
“Eh...eh...liat deh....itu pasti mobilnya anak mobil.” Kata Resty sambil menunjuk ke sebuah mobil.
“Mobilnya anak mobil?” tanya Tya.
“Iya....itu lhooo mobil yang warnanya abu-abu trus ada sirine diatasnya.” Kata Resty lagi.
Tya masih celingukan. Berharap menemukan sebuah mobil keren yang ada sirinenya. Tapi sebelum ia sempat menemukannya, Gia sudah menebak duluan.
“Capek deh, Res!! Itu kan mobil polisi....” kata Gia.
Resty cengengesan, Tya manyun karena merasa tertipu mentah-mentah.
“Sialan lo. Gue kira beneran.” Kata Tya.
Resty pun tertawa puas.
“Gi...pinjem kamera lo dong. Pengen liat foto-foto yang kemaren.” Kata Tya.
Gia pun memberikan kameranya.
“Oh My Goooooood..... gue kok disini lucu banget sih?” kata Tya mngomentari fotonya sendiri.
“Oh My Goooood.....” kata Gia mengikuti gaya bicara Tya sambil memutar bola matanya. “Pede banget sih lo!”
Resty cuma senyum-senyum aja mendengar dua sahabatnya mulai berdebat lagi.
“Ih...beneran. Tujuh dari sepuluh pria mengakui kalo gue tuh lucu.”
Gia tertawa, “Gue tau....gue tau....” katanya. “Tujuh orangnya itu pasti Deni *Si pria gemulai*, Umar *orang aneh bin ajaib yang di klaim mirip Ariel peterpan. Dan tolong jangan pernah berpikir, apalagi percaya kalo dia beneran mirip Ariel.*, Kirun *tukang bubur dikantin*, Parno *tukang jualan di kantin*, Bejo *Si manusia bantet nan kekar*, Juwining *anak kelas sebelah yang mirip kuda lumping*, sama Pak Marpaung *guru killer*.”
“Huuuuuu......enak aja. Ya bukanlah.”
“Lah...terus siapa?”
“Justin Timeberlake, Vin Diesel, Tom cruise, Christian Sugiono,.....”
Gia pengen muntah. “Udah-udah cukup!!” sela Gia.
“Ada-ada aja lo Ty.” Kata Resty sambil tertawa.

Gak lama kemudian, mereka pun sampai dirumahnya Opank. Nama aslinya Taufan Winarko, tapi orang-orang terdekatnya manggil dia dengan sebutan Opank. Dia adalah mantan kakak kelas Resty, Tya, dan Gia. Umurnya baru 20 tahun, tapi dia sudah sukses. Sebenernya, Opank adalah anak dari seorang pengusaha di Indonesia yang cukup tersohor. Namun dari pada meneruskan usaha keluarganya, ia lebih suka menjadi seorang pelukis, fotografer, dan juga event Organizer. Rumahnya sangat besar Seperti rumah-rumah di hollywood *gak juga siiih...* dan terletak dipinggiran kota Jakarta. Halaman depannya cukup besar, bahkan bisa buat main kasti. Tapi tentu saja Opank gak pernah main kasti disitu. Karena olahraga favoritnya adalah berenang. Rumahnya ini sekaligus ia jadikan kantornya yang terletak dibagian samping rumahnya.
Dan yang paling menarik dari rumah ini adalah halaman belakangnya yang super besar. Dan ada danau dibelakang halamannya. Bahkan Opank membangun sebuah studio lukisnya tepat di ujung halaman belakang rumahnya dan menghadap ke danau itu.
Mereka bertiga pun masuk ke kantornya Opank dan menemui sekertarisnya Opank yang menurut mereka bertiga mukanya mirip Megantropus Paleojavanicus. Udah gitu pas banget di dinding belakang meja sekretaris ada lukisan manusia purba yang dilukis sendiri oleh Opank.
“Mbak...Taufan-nya ada?” tanya Gia pada sekretarisnya Opank.
“Mbak Gia, ya?” kata Sang sekretaris dengan senyum lebarnya yang menakutkan. Padahal sih, maksudnya pengen senyum manis.
“Iyaaaa.....” balas Gia dengan senyuman super sok manis diikuti Resty dan Tya.
Tya dan Resty nahan ketawa. Muka mereka sepet kayak sari buah asem yang biasanya dijual dalam bentuk kemasan 250 ml.
“Pak Taufan-nya ada di studio. Langsung aja, udah ditungguin dari tadi.”
“Oh, ok.....makasih...”
Mereka berjalan keluar lewat pintu belakang yang tembus ke taman belakang rumah Opank. Dan disanalah mereka melepaskan tawa. Di taman belakang sedang ada pemotretan.
“Hai..Gi...” sapa Indra, salah satu fotografer yang ada disitu.
“Hai, ‘Ndra...”
Rumah Opank memang sering dijadikan tempat pemotretan bagi teman-teman fotografernya. Dari kejauhan Opank tampak baru keluar dari studionya hendak menyambut mereka. Sepertinya si Paleo Javanicus udah ngasih tau Opank lewat telpon pararel.
“Eh, lo duluan aja. Gue mau ke tolilet dulu.” Kata Tya.
“Udah nanti aja. Didalem studio kan ada kamar mandi juga.” Kata Gia.
“Udah gak tahan...” kata Tya. “Res...tolong bawain notebook gue, ya.” Kata Tya lagi lalu menyerahkan notebook-nya pada Resty.
“Sini, biar gue bawain... jangan lama-lama. Cepetan nyusul, ya.” Kata Resty.
“Sip!” Tya langsung masuk ke toilet karena udah kebelet.
Resty dan Gia berjalan mendekati Opank.
“Hei...akhirnya dateng juga manusia-manusia ini.” Kata Opank menyambut mereka. “Kenapa? Kok pada ketawa?”
“Si Manusia Purba itu.........Horor.” Kata Gia yang masih ketawa.
“Tau tuh...horor banget sih mukanya. Kotak, panjang, aneh gitu.” Tambah Resty. “Senyumnya....gak nahan.”
“Si purba masih ada aja di kantor lo?” tanya Gia.
Opank ketawa kecil. “Masih bagus buat pajangan, jadi masih gue pake sampe sekarang. Lumayanlah buat ngangkatin telpon.” Kata Opank yang gak mau kalah ngata-ngatain sekretarisnya sendiri.
“Eh, gue pinjem foto lab lo, ya.” Kata Gia.
“Iyaaa...pake aja.” Kata Opank. “Tumben pake ijin segala. Biasanya langsung masuk.”
“Abis gak enak minjem mulu...”
“Ya, gak apa-apa kaliiiii.” Kata Opank. “Sana gih...”
“Lah... elo mau kemana?” tanya Resty.
“Gue mau kedalem bentar...” kata Opank sambil berjalan menuju rumahnya. “Ada tamu....”
Gia dan Resty pun masuk ke studionya Opank yang sebenernya lebih mirip cotage. Beneran!! Bangunan ini terdiri dari tiga lantai. Basement buat nyimpen lukisan dan barang-barang. Lantai satu buat studio dan ada ruangan foto lab. Dan lantai dua ada dapur *walaupun jarang banget dipake*, kamar mandi, dan ruang TV. Baik lantai satu dan lantai dua punya beranda besar yang menghadap ke danau seperti rumah-rumah dipinggir pantai Karibia. Interior dan eksteriornya terbuat dari kayu. Emang sih, studio ini lumayan berantakan. Tapi nyaman banget,
Gia masuk ke foto lab yang terletak di lantai satu. Gia menyalakan lampu yang berwarna merah dan mulai mencetak hasil jepretannya. Ia sengaja gak menutup pintunya, soalnya biar tetep bisa ngobrol sama Resty yang duduk di sofa ruang lukis yang menghadap ke danau.
“Katanya lo mau bantuin Opank photo session?” tanya Resty yang sedang memainkan notebook-nya Tya.
“Iya... nanti agak sorean. Lagian modelnya belom dateng.”
Hening. Gia masih sibuk mencetak foto-fotonya, sedangkan Resty sedang mengutak-atik isi notebook-nya Tya.
“Oiya,” Kata Resty. “Kemaren gue ketemu sama Vino.”
“Kok bisa?” tanya Gia dari dalam ruangan merah itu dengan nada datar.
“Yaaaa....bisa.” kata Resty. “Dia yang minta ketemuan.”
“Kok bisa?” kali ini Gia bertanya dengan nada tinggi.
Resty udah suka sama Vino dari kelas satu. Tapi sayangnya Vino malah kecantol sama Manda. Cewek dari geng yang paling populer disekolahnya.
“Tiba-tiba dia nelpon ke handphone gue?”
“Kok dia bisa tau nomer handphone lo?” tanya Gia.
Resty mengangkat bahunya. “Mungkin dia nanya-nanya kali. Dia kan banyak aksesnya.”
“Trus.. ngomong apa aja?” tanya Gia lagi.
“Dia bilang.....” Resty diam sebentar. “Dia suka sama gue.”
“Yang bener lo?”.
Resty ngangguk.
“Trus?”
“Yaudah... gue tinggal aja.”
“Kenapa malah ditinggal? Bukannya selama ini lo nungguin momen kayak gini, Res?” Gia menggantungkan foto-fotonya yang sudah di cetak.
“Tapi, kan dia masih sama Manda. Lo tau sendirikan Manda gimana. Gue gak mau deh cari gara-gara sama dia. Mendingan gue mundur dari pada harus urusan sama dia.”


Tya sedang berjalan sepanjang taman belakang rumah Opank. Tadinya ia beniat untuk langsung bergabung dengan dua temannya yang udah duluan berada di dalem studio. Tapi kemudian ia melihat Bram sedang sibuk sendirian di dalam rumah kaca milik Opank yang terletak disamping studio. Bram adalah teman Opank, Ia juga seorang freelance fotografer. Sama seperti Gia, Bram juga sering datang kerumah Opank untuk mengerjakan sesuatu atau sekedar mampir. Karena saking seringnya mereka ketemu dirumah Opank, mereka udah kayak temen aja. Sama yang lainnya juga gitu. Tya pun masuk ke rumah kaca yang kira-kira sebesar ruang kelasnya yang dipenuhi tanaman-tanaman.
“Lagi ngapain, Bram?” tanya Tya sambil menutup pintu rumah kaca.
Bram yang mendongak dari balik kameranya. Kepalanya pun muncul dari balik tanaman-tanaman anggrek dan kaktus.
“Eh.... elo, Ty....” kata Bram. “Kapan dateng?”
“Baru aja...”
“Resty sama Gia mana? Biasanya lo selalu barengan?”
“Ada di dalem studio.” Kata Tya. “Lo ngapain disini sendirian?”
“Iseng aja sambil nunggu photo session nanti.” Kata Bram. “Lah lo sendiri ngapain?”
“Sama..... iseng.” Kata Tya. “Kok akhir-akhir ini lo jarang keliatan sih? Biasanya lo yang paling rajin dateng kesini.”
“Iyaaa... kemaren-kemaren tuh gue baru diterima kerja.”
“Oh, ya? Pantes...” Kata Tya. “Emangnya lo kerja apaan?”
“Gak jauh dari dunia gue yan­g sekarang. Gue kerja di salah satu perusahaan di bagian departemen periklanan. Dan gue kerja dibagian fotografer produk.”
“Waaah....selamet, ya....”

***

Siang menjelang sore. Semua kru yang terlibat dalam photo session tengah sibuk menyiapkan setting. Tempatnya di padang ilalang yang berada di sekitar danau dibelakang rumah Opank. Gak jauh, siih...tiap pagi Opank sering lari pagi kesana, tapi tetep aja kalo yang gak biasa jalan kesana bakal bilang lumayan jauh. Jadi kalo mau kesana harus naik mobil golf punya Opank, atau naik sepeda kayak Tya, Gia, dan Resty. Gara-gara gak kebagian mobil golf Opank yang cuma ada tiga *dua mobil lagi bolak-balik buat ngangkut kru, satu mobil buat ngangkut alat-alat* jadi mereka terpaksa harus kesana naik sepeda tandem rangkap tiga milik Opank.
Tya duduk di bagian sepeda yang paling depan, kemudian Resty ditengah, dan Gia dibagian yang paling belakang. Walaupun bertiga, tapi sebenernya cuma Tya doang yang genjot sepedannya. Gia sibuk motoin danau, Resty yang sama sekali gak bisa naik sepeda cuma bantuin genjot-genjot dikit *gak deng, sebenernya sepanjang jalan dia nyanyiin Love-nya Peppi Khamadatu dengan penuh penghayatan. Lumayan menghiburlah*.
“L....is for the way you look at me......”
“Ty..pelan-pelan jalannya....gue mau moto danaunya dulu.” Teriak Gia dari belakang.
“O...... is for the only one I see”
“Iyeeee... ini juga udah pelan.” Balas Tya.
“Viiiii.....is very-very ekstraordinary....”
“Ty...jangan goyang-goyang fotonya jadi blur...” kata Gia lagi.
“E...is even more than anyone that you adore and.....”
“Kalo gak goyang sepedanya gak jalan....” balas Tya lagi.
“Love is all that I can give to you....”
“Yaa....diredam sedikit goyangannya...”
“Love is more than just a game for two....”
“Buset deh.... gimana caranya? Lo kira nih sepeda kayak pistol ada peredamnya?”
“Two in love can make it , take my heart yet please don't break it...”
“Aahhh.....elo tuh....makanya jangan cepet-cepet jalannya.”
“Love was made for me and youuuuuuu.........”
Setelah sekian lama menggenjot dan melewati badai goyangan serta perang mulut, akhirnya mereka pun sampai ditempat pemotretan. Dari kejauhan *agak deket dikit*, Bram melambai pada mereka lalu mengambil foto mereka bertiga yang lagi diatas sepeda kayak tiga beruang sirkus.”
“Kocak banget sih lo bertiga.” Kata Bram.
“Badut kaleeeee....” kata Resty dari balik badan Gia.
“Abis, neng... abis... abangnya mau pulang....” kata Tya yang menirukan gaya bicara abang odong-odong.
Tya menyandarkan sepedanya tidak jauh dari tempat pemotretan. Lalu mereka pun berbaur dengan para kru. Bantu sana-sini, tapi gak dibayar *kayak romusa aja*. Semuanya pun sibuk. Tapi disela-sela kesibukannya, Gia mendengar sesuatu. Suara piano. Dia memang sangat sensitif dengan suara piano. Soalnya Gia suka banget mendengarkan irama dentingan alat musik itu. Gia pun celingukan sendiri sambil mencari arah datangnya suara.
“Ty... denger gak lo?” tanya Gia.
“Iya...rambutnya dikedepanin, kan?” kata Tya menegaskan sambil membetulkan rambut sang model. Sedetik yang lalu Gia meminta Tya untuk membenahi rambut si model, walaupun sambil bengong, tapi kupingnya masih cukup online untuk mendengar request-nya Gia.
“Bukan....” kata Gia yang masih celingukan.
“Kenapa, Gi?” tanya Opank.
“Eeeeee.....enggak.. gak ada apa-apa.”
“Oke.. kita mulai lagi.” kata Opank.
Tya dan Resty saling melempar pandangan.

***

Hari menjelang malam. Photo session sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Resty, Tya, Gia, Opank, dan Bram sedang santai-santai di lantai dua studio sambil melihat-lihat foto tadi siang. Foto yang baru saja mereka ambil hari ini. Foto-foto yang sudah dicetak mereka letakkan disebuah meja besar untuk dilihat bersama-sama.
“Eh, Bram... gue minta foto yang ini dong.” Kata Tya yang sedang melihat hasil jepretan Bram di layar kamera milik Bram.
“Mana?” tanya Bram.
Tya menyodorkan layar kamera pada Bram, “Ini...yang foto kita bertiga lagi naik sepeda.”
“Ooooh...iya...iya...nanti gue print-in buat elo.” Kata Bram.
“Ngomong-ngomong tadi lo kenapa, Gi?” tanya Resty sambil melihat sebuah foto.
“Tadi yang mana?” tanya Gia.
“Tadiiiiii....... waktu lo bilang ke Tya ‘lo denger gak, Ty?’ itu.”
“Ooooohh.... itu.” Kata Gia. “Tadi.... kayaknya gue denger suara piano.”
“Dari dalem danau kali.” Kata Bram sambil tertawa kecil.
“Yaaaaa.............menurut lo?” kata Gia sambil memutar bola matanya.
“Yaaa....siapa tau aja putri duyung lagi main piano.” Balas Bram.
Opank spontan ketawa. “Bram...Bram. Putri duyung kan hidupnya dilaut.”
“Loh? Emangnya gak bisa, ya hidup di danau?” tanya Bram.
“Gak bisa lah....O-on lo... “ kata Opank lagi.
“Yaaa....siapa tau dia bosen idup di laut makanya ke danau.”
Mereka semua pun tertawa. Saat itu Gia menyelinap ke luar beranda sambil membawa kameranya. Ia yakin akan menemukan sesuatu. Ia pun mengarahkan kameranya ke padang ilalang yang bisa terlihat dari beranda tempat ia berdiri. Ia memainkan zoom kameranya sambil mencari-cari objek. Tidak lama kemudian ia menemukan sesuatu. Gia pun tersenyum.
“Akhirnya.” Katanya pada dirinya sendiri.
“Akhirnya apa, Gi?” tanya Opank yang datang membawakan Gia segelas air putih dingin. “Nih minum.”
“Thank you...”
“Akhirnya apa?” tanya Opank lagi.
“Ha? Oooh...enggak. Akhirnya..eee...akhirnya gue nemu angle yang bagus.”
“Ooohh.....kirain apaan.”

No comments: