this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 4

BAB 4




Hari jumat sekolah libur. Tiga sahabat itu sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Pagi ini, Resty sedang berada di Sebuah gedung dibilangan Jakarta Pusat daerah gedung perkantoran. Ia baru saja keluar dari ruangan Papanya sehabis mengantarkan dokumen penting yang tertinggal dirumah. Saat sedang berjalan, ada seseorang yang memanggil dia. Resty mencari arah suara itu. Ia merasa heran sendiri, kok di kantor kayak gini ada yang tau nama gue? Ah, mungkin ada yang namanya sama kayak gue kali. Batin Resty. Tapi sekali lagi ada yang memanggil namanya dia. Dan kali ini ia melihat orang yang sepertinya ia kenal sedang berjalan menghampiri dia. Resty berhenti sebentar untuk mengamati orang itu.
“Loh, Kak Yozi.” Kata Resty. Pantas ia merasa asing, soalnya Kak Yozi pake kacamata dan pakaiannya sangat rapi.
“Lagi ngapain disini?”
“Lah... kamu sendiri ngapain disini?”
“Aku abis nganterin dokumen buat Papa.”
“Papa?”
“Iya... Pak Iman Hadi.” Kata Resty menegaskan.
“Pak Iman Hadi? Pak Dirut maksud kamu?”
Resty mengangguk.
“Jadi kamu anaknya?”
Resty mengangguk lagi. “Akhir-akhir ini Papa suka agak pelupa. Sampe dokumen penting kayak gitu aja bisa ketinggalan. Padahal sama dia udah ditaro diatas meja, loh. Mana katanya dokumennya mau buat rapat sama orang penting, lagi.”
Yozi cuma senyum doang mendengarkan Resty yang berbicara dengan ceriwis itu.
Tiba-tiba ada seseorang yang memakai jas hitam seperti yozi menghampiri.
“Pak... Bapak Dirut sudah menunggu.” Katanya yang berbicara sangat sopan pada Yozi.
Yozi cuma mengangguk.
“Aku keatas dulu, ya.” Kata Yozi.
“Oh, yaudah. Aku juga udah mau pulang.” Kata Resty. “Sukses, ya.”


Sementara itu, disaat yang sama dilain tempat. Gia sedang berada di padang ilalang disekitar danau. Hari ini gak ada photo session, tapi karena gak ada kerjaan Gia pun pergi kesana untuk menghabiskan waktu. Sebenernya sih, maksud Gia dateng kesini untuk menemukan sesuatu. Sesuatu yang kemarin dia lihat dengan kameranya.
Setelah turun dari mobil golf, Gia berdiri di dermaga kecil yang berada di padang ilalang itu. Dari situ ia biasa melihat ke studionya Opank dengan sangat jelas walaupun jaraknya lumayan jauh. Dari sana ia melihat Opank yang sepertinya baru bangun sedang berdiri diberanda sambil menarik badan. Tapi bukan itu yang sedang ia cari. Ia melihat layar kamera digitalnya dan mencari gambar yang ia tangkap secara tidak sengaja dari beranda tempat Opank berdiri.
Ia pun naik mobil golf-nya lagi dan menyusuri padang ilalang. Sampai akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Tepat seperti apa yang ditangkap kameranya pada malam itu. Ia turun dari mobil golfnya sambil tersenyum menatap hasil pencariannya.


Disaat yang sama. Sekitar satu setengah jam yang lalu Tya dan Bintang sampai di Pasar Parung, Bogor. Hari masih pagi, namun pasar itu sudah sangat ramai dengan pengunjung yang hendak membeli binatang peliharaan dengan harga yang lumayan murah dari harga pasaran. Bintang pun mengajak Tya melihat berbagai jenis ikan yang dijual disana.
“Ih...kura-kuranya lucu..kecil-kecil gitu.” kata Tya saat mereka melewati baskom yang berisi kura-kura Brazil. Tya pun jongkok di depan baskom itu dan mulai bermain-main dengan kura-kura itu.
“Ty, sini deh.” panggil Bintang. Tya pun segera menghampiri Bintang yang berdiri tidak jauh dari baskom kura-kura. “Liat tuh, ikannya mirip sama lo, Ty.” Kata Bintang sambil menunjuk seekor ikan yang sedang berenang. Ya iyalah.... masak ikannya lagi jongkok.
“Enak aja... miripan sama elo.” Balas Tya. “Eh, bukan deng. Lo yang itu.” Kata Tya sambil menunjuk ikan yang lain lagi.
Akhirnya sepanjang jalan mereka terus memiripkan diri dengan seekor ikan.
“Eh, itu ikan apaan, sih?” tanya Tya sambil menunjuk seekor ikan arwana. Secara otaknya cuma setengah sendok teh, jadi dia gak pernah tau jenis-jenis ikan. Yang dia tau cuma yang sering dia makan doang. Kayak misalnya lele, mujair, tuna, kakap dan temen-temennya.
“Itu ikan arwana. Masak gak tau sih?” kata Bintang.
“Bukannya gitu. Gue lupa.” Tya ngeles. “Kenapa lo gak beli ikan itu aja? Kan bagus.”
“Gue udah punya dirumah satu.” Kata Bintang. “Dan lo tau gak? Masak arwana gue lompat dari lantai dua rumah gue.”
“Bo-ong banget.”
“Beneran.” Kata Bintang.
“Gimana caranya?”
“Iya...kan akuarium arwana gue ada di lantai dua, trus tutup akuariumnya ada yang kebuka gitu. Nah....dia lompat deh tuh dari situ.”
“Masak, sih? Dari lantai dua? Kok bisa?”
“Ya bisa lah. Namanya juga kebetulan. Feeling so good banget deh tuh ikan. Dan lo tau gak? Kan arwana gue gede banget, pas dia jatoh tuh bunyinya keras aja gitu. Dikirain apaan gitu yang jatoh. Eh taunya ikan arwana. Sekeluarga gue langsung panik gitu”
“Lagian kok bisa gitu sih?”
Bintang angkat bahu. “Mungkin bosen kali di akuarium terus. Pengen nonton TV....”
Tya ketawa lagi. “Trus ikan lo mati gak?”
“Untungnya sih enggak. Masalahnya ikan itu tuh udah dipiara dari kecil. Jadi kalo sampe mati sayang banget.”
“Patah tulang gak?”
“Ya gak lah. Mana bisa ikan patah tulang” kata Bintang sambil ketawa. “Aneh-aneh aja lo nanyanya.”
“Enggak...buknnya gitu. Gue bingung.” Kata Tya.
“Bingung kenapa?”
“Kalo ikannya patah tulang berarti kan harus di gips. Berarti ikannya berenangnya kaku gitu dong. Cuma bisa maju doang trus kepentok kaca.”
Kali ini Bintang yang ketawa. Ganteng banget, sih nih orang. Kata Tya dalem hati waktu ngeliat bintang ketawa.
“Lo lucu banget, sih....”
Tya tersenyum seneng. Baru kali ini ada yang ketawa denger dia ngelucu. Biasanya Resty dan Gia selalu bilang “Plis deh, Ty...” kalo dia udah komentar yang aneh-aneh.
“Lo juga aneh.” Kata Tya.
“Wah...berarti kita jodoh dong.” Kata Bintang disela-sela tawanya.
Oh my God!! Barusan Bintang ngomong apa? Jodoh? Gak salah denger kan gue? Kata Tya dalem hati.
Setelah itu mereka berjalan dan melihat berbagai macam ikan lagi.
“Sebenernya lo mau beli ikan apaan, sih?” tanya Tya sambil memendarkan matanya melihat berbagai jenis ikan yang dijual.
“Gak tau deh.... menurut lo apaan?”
“Kok malah nanya gue? Kan elo yang mau beli.”
“Gini lho... gue punya akuarium, gak gede-gede banget, sih. tadinya isi akuarium itu belut, tapi seminggu yang lalu belut gue mati. Jadinya akuariumnya kosong.” Kata Bintang. “Naaah... kata bokap, dari pada kosong, mendingan di isi sama ikan aja. Tapi gue balom nentuin ikan apa.”
“Hmmm........” Tya berpikir. Matanya pun berpendar ke seluruh penjuru pasar. Dan tidak lama kemudian matanya tertuju pada sebuah akuarium yang berisi ikan hias yang berwarna-warni. Tya pun menghampiri akuarium itu. “Tang.... ini lucu-lucu banget.”
“Lo suka?”
Tya mengangguk.
“Bang... beli yang ini.” Kata Bintang pada abang pemilik ikan itu.
“Kok beli? Katanya lo belom nentuin mau ikan apa.” Kata Tya.
“Barusan lo bilang suka sama ikan itu.”
“Tapi, kan.......”
“Mau yang mana Mas?” sela abang yang jual ikan sambil bawa saringan dan plastik.
“Eeee.... tanya aja sama dia.” Kata Bintang sambil nunjuk ke Tya. “Pilih aja, Ty mana yang lo suka.”
“Gue?”
“Iya lah....”
“Emangnya lo mau beli berapa?”
“Hmm..... sepuluh deh.”
Sepuluh? Gila apa nih orang? Kata Tya dalem hati.
“Emangnya gak kebanyakan?” tanya Tya lagi.
“Emangnya menurut lo kebanyakan, Ya?”
“Kata lo akuariumnya kecil, kan. Emangnya ikannya gak sesek napas apa?”
“Ya enggak lah neng. Ikan mana bisa sesek napas? Paling keabisan oksigen.” Kata abangnya sambil ketawa.
Lah? Bukannya sama aja, ya? Secara kalo sesek napas yang karena keabisa oksigen bukan? Ternyata ada yang lebih bego dari gue. Pikir Tya.
“Gimana kalo lima aja?” kata Tya lagi.
“Yaudah....” Bintang setuju. “Eh, Ty.... gue kesana sebentar, ya.” Pamit Bintang. Gak tau deh arah mana yang dia maksud ‘kesana’.
“Iya...”
Sementara Bintang pergi, Tya pun mulai memilih lima ikan yang dia suka. Yang jelas ikan yang berwarna cerah sesuai dengan kesukaannya. Gak lama kemudian Bintang balik sambil membawa sebuah toples.
“Udah?” tanya Bintang.
“Udah tuh....” kata Tya.
Setelah bayar ikan-ikan itu, mereka pun pulang.


Resty sampai dirumah Opank dan langsung menemui Opank distudionya. Tadi dia baru aja dari rumahnya Gia, tapi orang rumahnya bilang kalo Gia udah pergi dari tadi pagi. Dan Resty langsung berasumsi kalo Gia pasti pergi ke rumahnya Opank.
“Eh, Resty.” Sapa Opank yang pagi itu masih bermuka bantal dengan sikat gigi yang sedang menyangkut dimulutnya.
“Gia mana, Pank?”
Opank tampak kebingungan. “Gak ngeliat tuh.”
“Tapi didepan ada mobilnya Gia kok.”
Opank makin bingung. “Masak? Gue baru aja bangun...” kata Opank sambil menyikat giginya. “Mungkin dia lagi ngambil foto kali. Lo liat mobil golf gue deh. Kalo gak ada tiga, berarti satunya dipake Gia.”
“Oke.. thank you, ya.” Kata Resty lalu bergegas pergi.


Gia berdiri halaman belakang sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari padang ilalang. Mungkin dari sini asal suara piano itu. Kata Gia dalam hati. Gia mengendap-endap ke teras belakang dan berhenti di samping sebuah jendela kaca besar. Suara piano kembali terdengar dari dalam rumah itu. Sangat jelas. Lagu yang sama seperti saat itu. Gia menempelkan wajahnya pada jendela itu agar bisa melihat kedalam. Benar saja. Ada orang yang sedang main piano disana. Tapi gia tidak dapat melihat wajahnya.
Lagunya mengalun begitu indah. Namun ia merasa irama pianonya agak sendu. Seperti ada sebuah beban yang tertuang disetiap dentingan piano itu.
Namun tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Gia hampir saja menjerit, tapi gak jadi karena ia tidak mau pemain piano itu kaget.
“Maaf, Mbak. Ada keperluan apa?” tanya seorang lelaki setengah baya.
“Eee... enggak. Gak ada. Saya cuma gak sengaja denger piano....” Kata Gia gelagapan.
“Apa si Mbak kenal sama mas Rivo?”
“Eee... enggak. Saya gak kenal siapa-siapa. Permisi.” Kata Gia lalu segera pergi dengan mobil golfnya.


Baru setengah perjalan, Bintang menepikan mobilnya di bahu jalan. Ia pun mengajak Tya ke luar mobil dan duduk di dalam bagasi belakang yang tutupnya di buka. Sesaat mereka menikmati pemandangan mobil-mobil yang sedang melaju dengan cepat. Angin semilir-semilir. Cuacanya juga teduh.
“Kita ngapain disini?” tanya Tya.
“Gak ngapa-ngapain. Ngulur waktu aja. Masih agak siang. nanti sorean aja pulangnya. Lo gak buru-buru, kan?”
“Enggak sih....” kata Tya. “Emangnya gak apa-apa kalo kita berhenti disini?”
“Ya gak apa-apa lah... ini kan jalanan umum.”
“Oooooh...iya juga, ya.”
“Oiya...gue lupa.” Kata Bintang lalu masuk kembali ke dalam mobil. Tidak lama kemudian ia datang dengan membawa sebuah toples berisi kura-kura Brazil. “Nih... buat lo.”
“Ini kan......”
“Iya... binatang pertama yang lo tunjuk tadi.”
“Trus kenapa lo beliin gue?”
“Yaaa.... gak tau. Pengen aja. Abis tadi lo ngeliatinnya lama banget. Jadi, ya gue beliin aja. Lagian kata abangnya ngerawatnya gampang kok.”
“Makasih, ya.” Kata Tya lalu memandangi kura-kura itu.
“Jangan lupa dikasih makan, ya.” kata Bintang.
“Iya....”
“Oiya, kata abangnya, nanti kalo kura-kuranya udah gede larinya bisa cepet, lho...”
“Wah...Berarti ini kura-kura tercepat dong.” Kata Tya dengan sangat antuias.
Bintang ketawa ngakak ampe guling-gulingan di tengah-tengah jalan tol *gak deng*. “Lo percaya aja. Gue kan cuma bercanda.”
Tya yang menyadari betapa bodohnya dia langsung ketawa. Secara, ya otaknya cuma setengah sendok teh. Bintang pun juga ikutan ketawa lagi.
“Oiya, lo tau gak?” tanya Tya.
“Apaan?” Tanya Bintang yang masih berusaha manghentikn tawanya.
“Lo pasti gak percaya.”
“Iya apaan?”
“Tapi jangan ketawa.”
“Iyaaa.. enggak bakal ketawa deh.” kata Bintang.
“Kita kan baru pernah ngomong empat kali.”
“Oh, ya? Berarti sekarang yang ke lima dong?”
Tya kaget. Dia kira Bintang bakal ketawa. Atau bakal mengeluarkan kata andalannya Resty , “Plis deh, Ty” tapi ternyata Bintang malah ngejawab dengan sangat manisnya.
“Loh? Kok gak ketawa?”
“Katanya Gak boleh.”
Tya jadi salting alias salah tingkah. Maksudnya Bintang tuh apa, sih? Pertama dia ngajak gue beli ikan. Trus nurut aja gitu pas gue suruh beli ikan hias. Trus sekarang dia beliin gue kura-kura. Dan intinya hari ini dia maniiiiis banget. Pikir Tya sambil ketawa sendiri.
“Kok malah lo yang ketawa? Curang!!”
“Kan yang gak boleh ketawa itu elo. Kalo gue boleh..”
Bintang ngangguk-ngangguk. “Oiya, Boleh tanya gak?”
“Apaan?”
“Tapi harus dijawab.”
“Iyaaaa.”
“Kenapa lo bisa sampe ngitungin frekuensi ngobrol kita?”
DUAR!! Otaknya Tya pecah seketika. Gak tau deh dia mau jawab apa. Dia bingung. Pusing tujuh keliling lapangan senayan ditambah tujuh kali lapangan Veldrome diselingi push up 100 kali setiap puterannya *buset...kurus deh*.
“Eeee... kenapa, ya?” kata Tya kebingungan sambil muter otaknya. “Oiya... kira-kira kura-kura ini gue kasih nama apa ya?” Tya berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
“Mmm...Fuad aja.”
Tya lantas ketawa ngakak.
“Kok ketawa?”
“Itu kan nama orang.”
“Loh? Emangnya kenapa? Arwana gue aja namanya Beni.” Kata Bintang.
“Gak mau... gue mau nama yang lucu.”
“Hmmmm... apaan dong?”
“Mmmm....”
“Koro aja.”
“Koro?”
“Iya...lucu, kan?”
“Kenapa Koro?”
“Katanya mau nama yang lucu. Nama Koro tuh lucu banget tau.” kata Bintang gak mau kalah.
“Tapiiii.......”
“Udah pokoknya tuh kura-kura harus dikasih nama Koro. Gak boleh diganti lagi.” Kata Bintang.
“Iya deh...” kata Tya nurut. “Koro....koro....koro....” Tya menyapa kura-kuranya.
“Anggep aja dia ini punya setengah nyawa dari nyawa gue. Jadi kalo ada apa-apa sama dia, berarti ada apa-apa sama gue.”
“Maksud lo....kalo dia tiba-tiba ketawa, berarti lo pasti dirumah lagi ketawa, gitu?”
“Yaaa....kira-kira gitu.”
“Tapi, Tang... kura-kura kan gak bisa ketawa?” Tya mengeluarkan pertanyaan bodoh lagi.
Bintang tertawa lagi.


Resty menemukan Gia sedang duduk di ujung dermaga padang ilalang ditemani kameranya yang ia letakkan disampingnya. Resty menepikan mobil golfnya lalu duduk disamping Gia dan kameranya.
“Lo ngapain, Gi....”
“Gak ngapa-ngapain.” Kata Gia dengan suara melemah.
“Kok lo tau gue disini?”
“Tau doooong...Resty!!”


Sore harinya setelah pulang dari parung, Tya keluar rumah sambil membawa kura-kuranya yang ia letakkan di tangan. Ia melihat Miko sedang duduk sendirian seperti biasanya. Tya berlari-lari kecil menghampiri Miko. Lalu ia menunjukan kura-kura itu pada Miko. Tya meraih tangan Miko lalu meletakan Koro di telapak tangannya Miko. Ia terlihat senang. Ia tertawa.
“Ini namanya Koro.” Kata Tya.
“Kkkkro...” Miko berusaha menyebutkan kata ‘Koro’.
Tya kaget melihat Miko bisa bicara. Walaupun belum benar, tapi yaaah...paling tidak Miko sudah berusaha.
“Iya...Koro...”
“Kkroooo...”
Tya tersenyum senang.



No comments: