this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 7

BAB 7




Jam setengah sembilan malam. Resty sedang berada di sebuah tempat disko. Tempat diadakannya ulang tahun Vino. Sesaat ia merasa bersalah karena sudah datang kesini tanpa memberi tahu kedua temannya. Tapi sesaat kemudian ia berkata sendiri dalam hatinya, ‘kadang emang harus sedikit berbohong untuk bisa berani’. Ia pun bergabung dengan orang-orang disana.
“Dasar.... udah terlalu kaya apa dia? Ulang tahun aja mesti ditempat beginian.” Kata Resty saat melihat Vino dan teman-temannya sedang duduk di salah satu pojok ruangan sambil tertawa.
Resty pun memutuskan untuk duduk di meja bar. Ia berpikir, mungkin nanti saja ia menghampiri Vino. Sang bartender menaikan alis padanya yang artinya ‘mau minum apa?’
“Eee.......”
“Gue pesen yang biasa.” Kata orang disebelah Resty yang baru saja datang. “Tolong bikinin dia orange juice. Tanpa alkohol, ya.”
Baik banget dia. Batin Resty lalu menoleh pada orang itu.
“Y-yozi?” kata Resty yang tidak mempercayai penglihatannya sendiri.
Yozi tersenyum.
“Kok... bisa disini?” tanya Resty.
“Harusnya aku yang tanya. Ngapain kamu disini?” kata Yozi. “Kalo aku emang suka dateng kesini akhir minggu.”
“Ooooh...itu...sebenernya....”
“Hai Res.....” sapa Vino yang tiba-tiba datang.
“Eh, Vino....”
“Kok gak langsung kemeja sana, sih?”
“Iya... tadi.. gue pikir lo....”
Belum sempat Resty menyelesaikan kata-katanya Vino sudah menggeretnya.
“Tapi, vin...”
“Udaaaaah....ayoooo.... gak ada Manda kok.”
Yozi mengawasi Resty dari kejauhan.


Gia sedang duduk di beranda sambil menatap langit malam. Ia melipat tangannya diatas meja dan menaruh dagunya diatas lipatan tangannya. Tiba-tiba sebuah mangkuk besar mendarat didepan mukanya. Gia mengangkat dagunya dan melihat isi mangkuk itu. Kwetiaw siram yang baunya sangat enak. Didepannya ada Opank yang baru saja duduk dan melahap makanan yang sama dengannya.
“Jangan diplototin aja. Dimakan...” kata Opank. “Dari siang lo belom makan, kan? Apa jangan-jangan dari pagi?”
Gia pun menurut. Lalu memakan kwetiaw itu.
“Sebenernya apa sih yang lo lamunin dari tadi?”
“Ha?” Gia gak connect.
“Gue liat dari tadi sore lo ngelamuuuuun terus.” kata Opank sambil makan. “Lo kesambet, ya?”
Gia diem aja. Ia masih melahap makanannya. Opank pun akhirnya melanjutkan makannya. Tiba-tiba Gia berhenti menyedot kwetiaw-nya. Ia menerawang jauh kearah danau.
“Diseberang sana....gak jauh dari padang ilalang....ada rumah....”
Opank berhenti makan untuk mendengarkan Gia.
“Ada seorang cowok yang sebenernya paling beruntung. Tapi....dia ngerasa hidupnya kurang beruntung.”
“Kok bisa?”
“Dia punya penyakit psikologi...” kata Gia. “Dia selalu ngerasa kalo dirinya kurang, padahal sama sekali enggak.”
“Maksud lo kayak gak pede, gitu?”
Gia mengangguk. “Bisa dibilang begitu.”
“Trus?”
“Tadi siang gue nemuin dia.” Kata Gia. “Sebenernya gue pengeeeen banget nolong dia, tapi.....”
“Tapi dia gak mau?” tebak Opank.
Gia mengangguk lagi.
“Gi...denger, ya... kalo lo emang bermaksud baik sama dia. Pasti bakal dikasih jalan sama Allah.” Kata Opank. “Percaya deh.”
Gia diam saja. Masih menatap jauh ke danau.
“Udah...dimakan tuh.. nanti keburu gak enak. Keburu ngembang.”


Tya menunggu di lobi sendirian. Menunggu Bram. Tapi yang datang malah Rangga, sepupu tertua keduanya.
Tin...tin....
Rangga membunyikan klakson BMW-nya. Lalu perlahan kaca mobilnya terbuka.
“Kok sendirian, Ty? Putra mana?”
“Mas Rangga?” kata Tya. “Pu-Putra...... udaaaah pulang dari tadi.”
“Dasar tuh anak.” Kata Rangga. “Mau bareng gak?”
Tya cepat-cepat menggerakkan tangannya tanda menolak. “Gak usah....”
“Lhoooo... gak usah gimana? Hari ini gak bawa mobil, kan?”
“Iya... ta-tapi...aku mau pulang naik taksi aja.”
“Mana boleh anak perempuan pulang malem-malem sendirian naik taksi? Udah bareng aja. Ayo.”
Tya tidak dapat menolak. “Iya...sebentar.”
Ia pun segera menulis note dikertas kecil kemudian memberikannya pada satpam.
“Pak... tolong kasih ke Bram, ya. Sebentar lagi mungkin orangnya kesini.” Katanya diam-diam lalu masuk mobil Rangga.
“Tadi ngasih apa kesatpam?” tanya Rangga diperjalanan pulang.
“Bukan apa-apa.” Kata Tya berusaha tetap tenang.


Yozi sedang memapah Resty yang sudah teler akibat dicekokin minuman oleh Vino. Namun tiba-tiba Vino menyusul dan memarahi Yozi.
“Heh!! Mau dikemanin temen gue?!!” kata Vino.
“Pulang!”
“Emangnya lo siapa berani-beraninya bawa temen gue?!!”
“Lo gak perlu tau!!” kata Yozi lalu memasukan Resty ke mobil.
Saat Yozi hendak masuk mobil, Vino menghalanginya.
“Sebaiknya lo minggir.” Kata Yozi.
“Sebaiknya lo rasain ini dulu.” Kata Vino lalu memukul Yozi.
Perkelahian pun tak terelakan. Vino memukul, Yozi membalas. Sampai akhirnya Yozi memberikan pukulan terakhir pada Vino. Vino jatuh tersungkur di lantai parkir basement.
“Jangan deketin Resty lagi. Lo berpengaruh buruk!!” kata Yozi lalu meninggalkan Vino.


Gia tertidur di sofa saat sedang memasukkan foto-foto ke notebook-nya.
“Dasar Gia....Gia...” kata Opank lalu menyelimuti Gia dengan selimut yang sengaja ia bawa dari dalam rumahnya. Ia tahu Gia tidak akan pulang kerumah.
Saat itu Opank melihat di notebook-nya Gia ada sebuah foto yang baru masuk dari kameranya Gia. Foto seorang laki-laki. Berwajah muram dan tulang pipinya tirus. Ini pasti orang yang Gia ceritain tadi, pikir Opank.


Tya baru saja turun dari mobilnya Rangga.
“Makasih, ya, Mas.....” kata Tya.
“Cepet tidur, ya. Salam buat tante.”
“Iya....”
Mobil Rangga pun berlalu. Tya mulai berjalan masuk ke rumahnya dan tiba-tiba handphonenya berbunyi.
“Hallo...” jawab Tya.
“Ty...ini Bram.”
Tadi Tya memberikan note pada satpam yang isinya nomor telponnya.
“Bram... lo dimana? Sori, ya... tadi pas nungguin lo tiba-tiba mas Rangga muncul, trus gue disuruh pulang bareng.”
“Iyaaa... gak apa-apa. Tapi lo udah sampe rumah, kan?”
“Udah...baru aja nyampe.”
“Oooooh....” kata Bram. “Eh, besok lo ke rumahnya Opank, gak?”
“Gak tau... kalo Gia kesana, ya... gue kesana.”
“Oh..ok...besok gue ada disana.”
“Oh.....iya....”
“Yaudah, deh....sampe ketemu, ya...”
“Daaaah.....”
“Daaah....”

***

Pagi harinya. Resty terbangun dan terheran-heran melihat dekorasi kamarnya seperti bukan kamarnya. Ia hendak bangun, tapi kepalanya terasa berat. Ia pun mengurut keningnya.
“Pagi...Res...udah bangun?”
Resty berusaha memfokuskan matanya. “Eh, Yozi....” kata Resty. “Ini dimana, sih?”
“Ini di apartemen aku.”
“Apa?”
“Tenang aja... tadi malem aku tidur diluar, kok.” Kata Yozi.
“Iya... tapi kok aku bisa disini?”
“Selamalem kamu dicekokin minuman sama temen kamu itu, trus tadinya aku mau bawa kamu pulang, tapi aku gak tau rumah kamu. Lagian aku gak mungkin bawa kamu pulang dengan keadaan kayak tadi malem. Yaudah aku bawa kesini aja. Tapi tadi malem aku udah telpon Pak direktur kok.”
“Ka-kamu telpon Papa?”
Yozi mengangguk. “Iya... aku bilang aja kamu lagi belajar sastra inggris sama aku.”
“Trus Papa percaya?”
“Kayaknya gitu.”
Tiba-tiba handphone Resty berbunyi.
“Ya, hallo...”
“Dek!! Lo dimana, sih? katanya lo mau kerumah Tya. Tapi kok Papa bilang lo lagi belajar sastra?”
“Aduuuh.... mas Reza. Ceritanya panjang. Nanti kalo udah sampe rumah gue ceritain deh.” kata Resty. “Trus mama gimana?”
“Yaaaa.... untung aja gue lupa bilang ke mama kalo lo ke rumah Tya. Trus si Papa udah duluan bilang kalo lo lagi belajar.”
“Bagus deh.....”
“Bagus deh gimana?!! Lo sebenernya ada dimana, sih? Yang bener lo dimana?”
“Iya...nanti gue ceritain.” Kata Resty lalu mematikan telponnya.
“Siapa?” tanya Yozi.
“Kakak.....” kata Resty. “Kayaknya aku harus pulang sekarang deh.”
“Yaudah... aku anter sekarang...”
“Tapi....ngomong-ngomong muka kak Yozi kenapa?”
“Oh... ini...kemaren kepleset trus jatoh....”


Siang harinya, Tya sedang memberi makan kura-kura kecilnya, Koro. Sambil menonton national geographic tentang ular besar, yaitu Anaconda dan Phyton. Tya memang suka nonton national geographic. Ia lebih suka nontonin gorila manjat pohon, singa makan kijang, atau ular makan buaya sampe perutnya sobek kebelah dua daripada disuruh nonton sinetron.
“Koro...koro...makan yang banyak... biar larinya bisa cepet...”
Tiba-tiba handphonenya bunyi.
“Ya, Res....”
“Ty....ke rumah Opank yuk. Gia ada disana.”
“Kapan?”
“Tiga ribu taun lagi.” kata Resty. “Ya sekarang lah.”
“Oooh... yaudah....lo jemput gue, ya.”
“Sip... nih bentar lagi gue nyampe rumah lo.”
“Bujug!! Gile lo ya...mandi aja belom.”
“Yaudah buruan mandi....”
“Iyaa... tapi gue mau kasih makan si Koro dulu...nanti kalo mati gimana?”
“Iyaa...iyaaa... nanti gue tunggin. Buruan...”


Gia sedang duduk di beranda studio sambil melihat hasil fotonya. Bram dan Opank baru saja datang. Mereka membawa foto hasil photo session di padang ilalang waktu itu lalu duduk bersama Gia.
“Ini yang waktu itu, ya?”
“Iya....” jawab Bram.
“Gimana?” tanya Opank.
“Bagus.” Jawab Gia.
Bram dan Opank pun sibuk memilih-milih foto. Bukannya ikutan bantuin, Gia malah bengong. Diantara badan Opank dan Bram ada celah kecil. Melalui celah kecil itu ia melihat seseorang berdiri di dermaga padang ilalang. Gia mengmbil kamera yang ia letakkan di samping notebook-nya lalu memainkan zoomnya agar ia bisa melihat jelas orang itu. Rivo. Kata Gia dalam hati sambil menurunkan kameranya. Ngapain dia disana sendirian?
Namun tidak lama kemudian ia melihat Rivo terjun kedalam danau.
“A-ADA ORANG TERJUN!!!!” seru Gia panik. Lalu dengan spontan ia langsung terjun ke danau dari beranda studio.
Gia berenang sampai ketempat Rivo terjun. Ia tidak melihat apa-apa. Gia pun menyelam ke bawah danau. Ia memang pernah ikut les berenang dan menyelam waktu liburan musim panas tahun lalu saat ia masih di Jepang, bahkan ia punya sertifikat sebagai penyelam terbaik. Akhirnya ia menemukan Rivo diantara air danau yang keruh. Gia segera menarik Rivo sebelum ia kehabisan nafas. Sambil terus menahan nafas, ia menarik Rivo kepermukaan. Sampai di permukaan Gia menidurkan Rivo di dermaga.
Sambil menangis panik ia menekan perut Rivo seperti yang ia pelajari dari les menyelam.
“Bangun!!.....Rivo bangun....bangun!!!” Gia histeris dengan panik sambil terus menekan perut Rivo. Gia pun akhirnya terpaksa memberi nafas buatan pada Rivo lalu menekan perutnya lagi. Terus begitu sampai akhirnya Rivo bangun dengan terbatuk-batuk sambil mengeluarkan air dari mulutnya. Gia langsung memeluk Rivo sambil terus menangis histeris.


Saat Tya dan Resty datang, Gia sedang tidak ada. Akhirnya mereka berdua bergabung dengan Opank dan Bram yang sedang sibuk dengan foto-foto. Resty membantu Opank mencetak, sedangkan Tya membantu Bram menempelkan foto-foto itu di papan hitam ukuran 65x65 cm.
“Paaaank....ini satu papan buat satu foto?” tanya Bram dari luar.
“Yo-i.... ditengah-tengah ya naro fotonya. Atau gak lo kreasiin aja sendiri.” teriak Opank dari dalam foto lab.
“Sip!!”
”Gue gak nyangka lo bisa ada diperusahaan kakek gue.” kata Tya sambil menempelkan foto.
Bram cuma nyengir sambil mengamati sebuah foto yang ada ditangannya lalu menempelkannya. “Ada juga gue yang kaget. Ternyata lo cucunya Pak dirut.”
“Hhhhh......padahal gue males banget disuruh dateng tiap jumat siang cuma untuk baca dokumen-dokumen kayak gitu.”
“Lhooo.....bukannya justru enak. Paling enggak, masa depan lo udah terjamin kan?”
“Masa depan apanya? Walaupun terjamin tapi tetep aja gue gak suka....”
Bram berjalan ke sofa untuk mengambil sesuatu lalu kembali lagi dan menyerahkan sebuah amplop pada Tya.
“Apan, nih?” tanya Tya.
“Itu foto yang waktu itu. Foto lo, Resty, sama Gia lagi naek sepeda.” Kata Bram.
“Ooooh....makasih ya.” Kata Tya sambil memandangi foto itu.
“Iya...sori baru bisa gue kasih sekarang. baru sempet.”
“Gak apa-apa...” kata Tya lalu memasukankembali foto itu kedalam amplop dan mulai menempelkan foto-foto lagi.
“Trus, gimama kabar cowok lo?” tanya Bram tiba-tiba.
“Ha? Cowok? Cowok yang mana?” tanya Tya sambil melihat sebuah foto karya Indra lalu menempelkannya di papan hitam.
“Lho? Jadi masih belom pacaran juga?” tanya Bram.
Tya menggeleng.
“Yang waktu itu ngajak lo ke Bogor siapa?”
Tya melirik Bram, “Pasti Gia yang ngasih tau. Iya, kan?”
“Emang iya...” jawab Bram.
“Namanya Bintang. Dia temen sekelas gue.” kata Tya.
“Merangkap gebetan?”
“Yaaaaa...bisa dibilang begitu.” Kata Tya.
“Dasar....”
“Ngomong-ngomong Indra mana sih? Kok dia jarang nongol?” tanya Resty yang datang bersama Opank sambil membawa setumpuk foto yang dicetak dengan ukuran besar.
“Wits...dia maaaah.....orang super sibuk. Lagi banyak order foto.” Jawab Bram.
“Gila tuh orang.” Kata Resty sambil menyusun foto yang ia bawa. “Kuliah iya...kerja juga....kapan tuh orang cari cewek?”
“Aaaauuuuu..... tuh.” Jawab Bram.
“Trus Gia mana?” tanya Tya.
“Tadi dia abis nolongin orang.” Kata Opank sambil mengambil gambar Resty, Tya, dan Bram yang sedang sibuk.
“Nolongin orang?” tanya Tya.
“Iyaa...” jawab Opank.
“Sampe nyebur ke danau, lagi.” tambah Bram.
“Apa? Nyebur ke danau?” tanya Resty.
“Gimana ceritanya? Emangnya dia nolongin siapa?”
“Wuiiiiih...seru deh..... kayak film action.” Kata Bram.
Opank pun mulai bercerita tentang kejadian tadi. Sambil ikut menempel-nempelkan foto.


Sementara itu. Gia sedang berada di rumah Rivo. Gia duduk di depan perapian untuk mengeringkan dirinya.
“Nih...” kata Rivo sambil memberikan secangkir coklat panas pada Gia.
“Makasih...” kata Gia dengan suara parau.
“Kenapa lo nolongin gue?”
“Karena belom saatnya elo untuk mati.” Kata Gia. “Dan gue yakin... tadi sebenernya lo gak mau mati. Tapi sisi lain diri lo yang jahat nyuruh lo untuk nyebur.”
Rivo hanya diam. Gia tau tebakannya benar.
“Biar gue tebak. Pasti sebelom lo mutusin untuk nyebur, lo abis ngeliat diri lo di kaca. Trus rasa benci lo timbul, dan seakan bilang sama lo ‘Rivo, buat apa lo hidup?’ iya, kan? Gue bener, kan?”
Rivo masih diam. Gia benar lagi. Gia pun meminum coklat-nya.
“Ini...gara-gara orang tua gue. Kenapa, sih gue selalu keliatan gak bisa apa-apa didepan mereka? Selaluuuu... aja kakak-kakak dan adik gue yang paling hebat.” Kata Rivo yang mulai angkat bicara. “Apa salah kalo gue suka main piano? Apa salah kalo gue lebih suka ngelukis ketimbang bisnis? Apa salah kalo cita-cita gue jadi seorang seniman dan bukan orang kantoran?”
Gia berpikir sebentar. Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu. Gia memegang pundak Rivo. “Gue bisa bantu lo.”
“Gak....gak usah.....”
“Kenapa?”
“Gue takut...”
“Apa yang mesti lo takutin?”
“Gue takut nanti gue salah jalan dan gue makin jelek dimata mereka.”
“Percaya deh sama gue.” kata Gia. “Temen gue mau ngadain pameran. Dia pengen dipamerannya ada semacam live performance. Gue mau lo main piano disana. Yaaa.... satu-dua lagu, lah.”
“Gak!!.... gue kan udah bilang kalo keluarga gue gak suka kalo gue main piano.”
“Justru itu!!” teriak Gia yang sudah tidak sabar. Ia memungut sebuah buku tebal dari lantai yang disampulnya tertulis ‘Ekonomi & Bisnis’ lalu melempanya keperapian. Rivo ingin mengambilnya tapi sudah terlambat. Buku itu sudah terbakar. “Gak usah dipungut! Buat apa lo harus ngelakuin hal yang gak lo suka?” kata Gia dengan suara lantang sambil menunjuk buku yang sudah hangus terbakar dan perlahan menjadi abu. “Buat apa lo belajar bisnis tapi hati lo sebenernya cuma pengen ngelukis? Buat apa!!??”
Rivo diam tertunduk. “Buat.... orang tua gue...”
“Denger, ya, Vo... kalo mereka emang orang tua yang sayang sama anaknya, harusnya mereka tau kalo elo ini berbakat. Harusnya mereka ngerti kalo lo ini luar biasa. Tapi apa yang mereka perbuat sama lo, hah? Ngejadiin lo sakit jiwa kayak gini? Orang tua macem apa mereka? Punya anak yang berbakat kayak gini bukannya dimanfaatin. Bikin gallery kek. Art performance, kek. Kan mengahsilkan uang juga. Tapi mereka malah bikin lo kayak gini.”
Rivo masih diam. Gia manatap Rivo yang tertunduk.
“Hhhhh......” Gia menarik nafas agar urat-uratnya sedikit relax. “Kayaknya untuk bikin lo sadar lumayan susah, ya? Gue harus pulang. Masih ada yang harus gue kerjain. Lo pikirin kata-kata gue. Kabarin gue secepatnya.” Gia pun pergi.
Dari belakang meja dapur, pak Parmin tersenyum. Ia tahu Gia akan segera menyadarkan Rivo.

No comments: