this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 6

BAB 6




Jumat siang setelah pulang sekolah, tiga sahabat itu sibuk dengan kegiatan mereka sendiri-sendiri. Setiap hari Jumat, Tya wajib datang ke kantor kakeknya untuk belajar segala sesuatu tentang perusahaan milik kakeknya itu. Setiap hari jumat mereka pulang jam dua belas. Biasanya mereka menghabiskan waktu di warnet atau di rumah salah satu dari mereka.
Tya berjalan memasuki gedung kantor yang terletak ditengah kota Jakarta. Ia langsung naik lift dan menekan tombol nomer lima pada panel tombol. Ia sendirian didalam lift. Lift pun berhenti di lantai lima. Tya keluar dari lift sambil merapikan baju victoriannya lalu berjalan menuju ke sebuah ruangan. Disana sudah ada kakeknya dan seorang wanita yang kira-kira berumur 30 tahun. Ia memakai kacamata. Rambutnya sebahu. Dan sedikit canggung.
“Siang Ayah.” Tya menyapa kakeknya saat memasuki ruangan.
“Tya.. ini Mira. Dia yang akan membimbing kamu mulai saat ini.”
Tya melempar senyum malas pada Mira. Sementara itu Mira tersenyum sangat ramah.
“Ayah tinggal dulu, ya. Kamu baik-baik sama Mira.”


Sementara itu. Gia sedang berada dipadang ilalang. Ia turun dari mobil golf-nya lalu duduk di ujung dermaga sambil menggantungkan kakinya ke bawah. Ia duduk dengan santai. Kameranya menggantung di lehernya. Pikirannya kosong.
Tiba-tiba ia mendengar suara piano lagi. lagu yang sama. Nada sendu yang sama. Ia pun kembali ke mobil golfnya lalu pergi menuju rumah yang kemarin berhasil ia temui.
Gia mengendap-endap seperti biasa. Berdiri di samping jendela besar dan menikmati lagu sendu itu. Tapi kemudian lagu itu berakhir dengan suara tuts-tuts piano yang sepertinya dipukul dengan keras. Gia yang laget langsung mengintip kedalam lewat jendela yang lebih kecil. Ia melihat seseorang sedang berjalan kearah pintu yang berada disampingnya. Gia pun segera merapat dan begitu pintu itu terbuka, ia tersembunyi dibalik pintu. Seseorang dengan kaos hitam dan celana jeans keluar melalui pintu itu. Tubuhnya kurus jangkung. Rambutnya seleher nyaris sampai bahu. Orang itu berjalan menuju danau.
“Kelihatannya Mas Rivo sedang kesal.” Kata suara disamping Gia.
Gia kaget. Waktu ia menoleh, ternyata yang berbicara adalah orang tua yang waktu itu memergoki dia.
“Ma-maaf... saya gak maksud untuk.........”
“Saya tahu.” Sela orang tua itu. “Neng ini dari rumah yang ada diujung danau sana, kan?”
Darimana dia tau? Batin Gia.
“Nama saya Parmin. Saya sudah lama kerja disini, dan sering liat ‘neng dan temen-temennya di padang ilalang.” Katanya. “Mas Rivo juga pernah sekali ngeliat.”
“Mas Rivo?” tanya Gia.
“Iya...Mas Rivo. Orang yang suka si ‘neng intipin kalo lagi main piano.” Kata orang itu lagi sambil menunjuk si pianis yang sedang duduk di pinggir danau.
Jadi namanya Rivo.
“Tapi saya gak pernah bermaksud untuk ngintip. Saya cuma pengen tau aja, kenapa nada yang dia mainin terdengar sedikit sendu.” Kata Gia.
“Ituuuu.... karena Mas Rivo merasa diasingkan oleh keluarganya.”
“Diasingkan?”
Orang tua itu mengangguk. “Tepat dua minggu yang lalu, Mas Rivo dikirim kesini. Dia punya penyakit yang aneh.”
“Penyakit yang aneh?”
Orang tua itu mengangguk sambil menerawang kearah Rivo. “Penyakitnya seperti penyakit jiwa....” katanya. “Setiap kali dia bercermin, dia merasa kalau dirinya itu jelek. Seperti gak pede gitu lah, ‘neng. Makanya dia dikirim kemari sama keluarganya dengan maksud agar mas Rivo bisa tenang. Tapi sepertinya mas Rivo salah sangka.”
Gia mengangguk-angguk. “Sejak kapan?”
“Entahlah ‘neng. Yang saya tahu sejak dia SMP sampai sekarang.”
“Padahal umurnya baru dua puluh dua. Sebenernya masih banyak yang dia bisa lakukan. Udah ganteng, sopan, baik, keluarganya juga terpandang. Kasian mas Rivo.” Kata orang tua itu. “Maka dari itu, saya mau minta tolong sama si ‘neng ini.”
“Minta tolong apa, pak?”
“Mungkin ‘neng bersedia jadi temennya mas Rivo. Soalnya, saya lihat Mas Rivo kesepian, dia butuh teman yang bisa ngasih dia dukungan untuk tetap hidup. Soalnya udah beberapa kali mas Rivo nyoba untuk bunuh diri.”
“Bbbunuh diri?”
“Iyaaa... untung ada saya, kalo enggak......” pak Parmin tidak melanjutkan kata-katanya.
Gia menatap iba pada Rivo dari kejauhan. Jadi itu sebabnya nada lagu yang terdengar begitu sendu? Katanya dalam hati.


Sementara itu, Resty sedang tiduran di kamarnya yang dicat putih. Resty memang sangat berbeda dengan dua temannya. Kalau Gia suka warna-warna gelap dan Tya suka warna-warna cerah. Resty justru lebih suka warna-warna lembut seperti peach, baby blue, soft pink, kuning muda, dan sejenisnya. Pokoknya warna-warna yang gak nyolok mata. Makanya, ia sengaja mengecat kamarnya dengan warna putih dan memilih prabot yang berwarna senada. Paling hanya ada beberapa perabot saja yang berwarna, itu pun warna-warna yang natural.
YOU’RE INVITED TO : VINO’S BIRTHDAY PARTY in Friday night 8 pm at..........
Resty menatap tulisan dikartu yang Vino berikan padanya. Kemudian ia menempelkan kartu itu dijidatnya. Ia bingung antara ingin pergi dan malas menemui Vino.


Tya menatap tumpukan-tumpukan dokumen yang berada didepannya.
“Jadi aku harus baca dokumen sebanyak ini?”
Mira mengangguk dengan sopan.
“Berapa lama tadi waktunya?”
“Satu minggu.”
“Dalam satu minggu aku harus udah selesai baca semua ini?”
Mira mengangguk lagi.
“Gila apa?”
Tya makin stres.
“Tidak perlu dibaca secara rinci. Yang penting anda mengerti.”
Tya menatap Mira dengan malas lalu memutar bola matanya.
Tiba-tiba Putra masuk tanpa mengetuk Pintu.
“Gimana, Ty?” tanya Putra.
“Gimana apanya?”
“Kerjaan lo?”
“Lo gak liat kertas-kertas yang ada dimeja gue?” kata Tya. “Kertas sebanyak ini harus gue pelajarin dalam waktu seminggu. Dikira gue gak kerjaan laen, apa? Gue kan juga sekolah, les.......”
“Main.....” tambah Putra.
“Iyaa...main juga. Tapi kan gue juga butuh hiburan.” Kata Tya. “Mending gue kasih aja kertas-kertas ini sama abang gorengan, deh.” Kata Tya lagi sambil melihat ke arah Mira. Mira tampak kaget mendengar itu. “Gak koooook.. bercanda doang....” kata Tya pada Mira.
“Yaudahlah, Ty... terima aja. Nantinya kan perusahaan sebesar ini bakal kita yang jalanin. Jadi yaaaa....emang harus belajar dari sekarang. Dokumen yang lo baca sekarang belom seberapa dibandingin sama dokumen yang bakal lo baca lima taun nanti.”
“Iyaa...iyaaaa.....”


Gia berjalan mendekati Rivo kemudian duduk disampingnya. Rivo yang menyadari kedatangan Gia hanya menoleh sebentar lalu kembali mengais batu dan melemparnya kedanau. Gia menatap Rivo dari samping. Sesaat ia melihat raut wajah yang malas, seperti tidak mempunyai kemauan untuk hidup. Tapi sesaat kemudian ia melihat raut wajah yang berbeda. Gia merasa, Rivo menjadi seperti ini karena orang lain.
Ia pun mengeluarkan kameranya dan mulai memoto Rivo.
“Ngapain lo?” kata Rivo.
“Jangan bergerak... anglenya udah pas banget.”
Tapi Rivo tidak menurut pada Gia. Ia malah membuang muka.
Gia menurunkan kameranya. “Permainan piano lo bagus.” Kata Gia.
“Judulnya Song From Secret Garden.” Kata Rivo.
Gia mengangguk-angguk. “Ooooh... judulnya bagus. Lo pasti suka banget lagu itu, ya?”
“Tau dari mana?” tanya Rivo dengan jutek.
Gia berusaha bersabar. “Abis... lo mainin lagu itu terus. Pasti lo suka, kan?”
Rivo diam saja.
“Oiya, nama gue Gia.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
“Rivo.” ia tidak menjabat tangan Gia karena tangannya kotor.
Gia menarik tangannya. Gila! Dingin banget nih orang. Batin Gia.
Suasananya pun hening.
“Lo ngapain disini?” tanya Rivo tiba-tiba.
Gia menoleh dengan ekspresi kaget, “Ha? Ooh... ini... gue lagi jalan-jalan sambil ngambil foto, trus kebetulan gue ngeliat lo duduk sendirian disini, jadi.......”
“Jadi lo kasian sama gue?” sela Rivo.
“Gak kok. Gue cuma pengen dateng. Duduk disini. Ngambil foto. Udah itu doang.” Kata Gia.
“Denger, ya... gue udah cukup kasian sama diri gue sendiri yang jelek gini, jadi gue gak perlu rasa kasian orang lain lagi. Lagian kenapa lo mau duduk sama orang terbuang kayak gue.”
“Vo... lo salah. Lo bukannya dibuang. Keluarga lo cuma pengen lo relax.”
“Pak Parmin yang bilang sama lo?” tanya Rivo. “Dia itu gak tau apa-apa. Gue itu ibaratnya itik buruk rupa dikeluarga gue. Aib!”
“Tapi, Vo.... Sedikit pun gue gak pernah mikir kalo lo itu jelek. Muka lo, postur tubuh lo, semuanya... sangat memenuhi syarat untuk jadi model. Gue sering ketemu model-model, tapi menurut gue lo jauh lebih perfect dari mareka.”
Rivo hanya mencibir.
“Banyak orang diluar sana yang mimpi pengen punya muka dan postur tubuh kayak lo. Tapi elo yang jelas-jelas udah dikasih sama Allah malah gak mensyukuri.” Gia tidak menyerah.
“Udah deh... lo gak usah sok-sokan muji gue.” kata Rivo. “Lo bukan orang pertama yang bilang begitu.”
“Nah... liat, kan? Berarti kenyataannya emang begitu. Kenyataannya emang lo enggak jelek.”
Rivo membuang muka.
“Oke... oke... gini deh...” kata Gia. “Kita buat deal.”
Rivo tidak menjawab, ia hanya menatap Gia dengan heran. Tapi Gia tidak perduli. Ia terus berusaha.
“Sebentar lagi gue mau ikut pameran. Nah.. gue mau jadiin lo model. Nanti foto lo gue pamerin disana. Dengan begitu lo kan bisa denger sendiri komentar orang-orang.”
“GAK!!” katanya dengan tegas. “Gue gak mau difoto. Gue gak mau ikut pameran. Pokoknya gue gak mau.”
“Trus lo maunya apa?”
“Gue mau lo pergi dari sini sekarang juga.”
Sebenarnya Gia masih mau berargumen, tapi ia merasa ‘yasudahlah’ dan akhirnya menyerah.
“Oke... gue pergi sekarang.” kata Gia. “Kalo ada apa-apa, rumah temen gue di ujung danau sana. Gue sering ada disana.”
Rivo tidak menjawab. Gia pun akhirnya pergi.


Tok..tok...tok....
Seseorang mengetuk pintu ruangan Tya. Mira sedang tidak ada, lima menit yang lalu ia dipanggil oleh kakeknya Tya dan sampai sekarang Tya masih pusing dengan dokumen-dokumen itu.
“MASUK!!” katanya.
Pintu pun terbuka.
“Maaf, bu... sayaaa......”
“Loh!! Bram!!”
“Tya?! Kok elo.......???”


Resty mondar-mandir didepan kaca kamarnya yang besar. Semua baju dilemarinya sudah ia coba. Lima belas menit yang lalu akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke pesta ulang tahunnya Vino. Ia memang belum membicarakan ini pada dua temannya. Tapi menurutnya itu tidak penting. Yang penting ia pergi dulu. Soal apa yang akan terjadi nanti itu urusan belakangan.
Akhirnya pilihannya jatuh pada babydoll ertnic berwarna hijau tua yang ia padukan dengan jeans. Kemudian ia duduk dimeja riasnya dan berdandan sekenanya.
“Mau kemana lo, dek?” tanya mas Reza, kakak Resty saat Resty sedang menuruni tangga rumahnya.
“Mau ke......... rumah Tya.” Bohong Resty.
“Mau kerumah Tya doang kok rapi bener?”
“Iya..... mau difoto sama Gia.”
“Foto mulu lo.”
“Biarin.” Kata Resty. “Gue berangkat, ya, Mas. Bilangin sama mama.”
“Iyaa... nanti gue bilangin.”


“Ooooh, jadi lo termasuk cucunya Pak Dirut yang lagi magang disini itu?” tanya Bram.
Tya mengangguk.
“Berarti lo sepupunya Putra dong?”
“Kok tau?”
Bram menyerahkan selembar kertas pada Tya.
“Apaan nih?” tanya Tya.
“Gak taauu....” kata Bram. “Kebetulan gue kerja di departemen yang dia pegang, trus tadi dia nitipin ini ke gue. Katanya suruh kasih ke elo.”
Tya membuka kertas itu.
‘Ty...bilang sama orang yang ngasih kertas ini suruh panggilin lo taksi atau sekalian aja minta dia anterin lo pulang. Nanti gue mau balik duluan, soalnya mau kerumah cewek gue.’
Dasar Putra. Suka sembarangan aja nyuruh orang. Batin Tya.
“Apaan isinya?”
Tya langsung meremas kertas itu. “Bukan apa-apa. Dia cuma iseng doang. Biasalaaaaah.......”
“Yaudah... kalo gitu gue mau kerja lagi.” pamit Bram.
Tya mengangguk, “Makasih, ya kertasnya...”
“Sama-sama Bu Direktur kecil.” canda Bram seraya menutup pintu.
“Dasar Bram.” Kata Tya seraya tertawa.
Tiga detik kemudian Bram muncul lagi. “Oiya, Bu Direktur kecil bawa mobil, gak?”
“Enggak... emang kenapa?”
“Kalo gitu nanti pulang bareng saya saja.” Kata Bram. “Tenang Bu... argonya gak saya nyalain kok...”
Tya mengangguk sambil tertawa kecil.
“Kalo begitu nanti jam pulang ketemuan di lobi, ya..” kata Bram lalu menutup pintunya.
Tidak lama kemudian Mira datang. Dan ia sangat terheran-heran melihat Tya sedang senyum-senyum sendiri.
“Maaf, Mbak... Mbak Tya....”
“I-iya?” Tya tersadar dan jadi salah tingkah. “Eeeee..... ini dokumennya lucu banget.” kata Tya lalu kembali pada dokumennya.
Mira menaikan alisnya.

No comments: