this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 11

BAB 11




Satu minggu kemudian. Sabtu pagi pukul 7:38. Setengah jam lagi pameran dibuka. Diluar, Tya sedang memasang sebuah spanduk yang bertajuk ‘The Art Of Photography Exhibition by ILALANG Studio’ didepan gedung pameran dibantu oleh Bram. Gia sedang meletakkan rangkaian bunga keseluruh ruangan. Sedangkan Resty sedang membuka pembungkus grand piano yang akan dipakai untuk live performance. Indra dan Opank sibuk berkeliling keseluruh ruangan untuk memastikan semua foto dan dekorasi terpasang dengan benar demi terlaksananya pameran ini.
Tiba-tiba ada yang duduk di grand piano sewaktu Resty sedang mengelap grand piano itu. Orang yang tingginya mungkin satu setengah kalinya Resty, kurus, rambutnya dipotong model indis tapi sepertinya sudah agak gondrong, memakai kacamata, dan bajunya hitam garis-garis. Ia membuka tutup tuts piano lalu meminkan do re mi fa sol la si do dari oktaf yang terendah sampai oktaf yang tertinggi lalu ia memainkan sebaliknya.
Ini, kan Rivo. Jadi dia yang main piano? Tapi Gia mana?
Resty pun menjauh dari piano lalu mangambil walkie talkie dari kantongnya.
“Gi..Gi...ini Resty. Lo dimana? Rivo udah dateng, tuh. Dia ada di piano.”
“Sip. Thank’s, ya.”
Setelah itu Resty pergi untuk menggantikan tugas Gia meletakkan bunga-bunga.
Saat Gia datang, lagu yang ia kenal berjudul Song From Secret Garden tengah mengalun dari grand piano berwarna hitam yang diletakkan di ruang utama tempat pameran. Dengan perlahan Gia memasuki ruangan yang hanya dibatasi dua pilar berbentuk kubah dengan ruangan lainnya. Gia mendengarkan lagu yang masih terdengar sendu itu dengan khidmad. Ia jatuh cinta dengan lagu ini. Tapi sepertinya begitu juga dengan pemainnya.
Tiba-tiba permainnanya berhenti. Rivo mengdongak dari pianonya.
“Kenapa cuma berdiri aja?” katanya.
“Ha?” Gia kaget.
“Gak mau nyoba mainin?” tanya Rivo lagi.
Gia menggerakkan kedua tangannya, “Gak, ah....gue gak bisa. Elo aja.”
Indra datang sambil menepuk-nepukan kan tangannya tanda menyuruh orang untuk segera bersiap-siap karena pameran akan dibuka. “Ayo semuanya.... kita ke pintu depan.” Katanya lalu menuju ruangan lain.
Semua kru berdiri didepan pintu untuk menyambut para tamu yang sudah datang. Setelah pengunjung masuk, mereka pun dikumpulkan diruang utama.
Setelah semua pengunjung berkumpul diruangan utama, Rivo pun mulai mendentingkan pianonya. Ia memainkan lagu favoritnya, ‘Song From Secret Garden’ yang berdurasi 3 menit lebih.
“Dengan ini, ILALANG photo studio resmi dibuka.” Kata Opank sambil mengangkat gelasnya diikuti para kru dan semua pengunjung yang juga diberi minuman.
Setelah peresmian, para pengunjung pun diperbolehkan melihat foto-foto yang telah dipajang.
Rivo juga ikut berkeliling melihat foto-foto. Saat ia memasuki sebuah ruangan, bebrapa pengunjung sedang memuji sebuah foto yang lumayan besar. Ia mendekat untuk melihat foto yang sedang dipuji itu. Ternyata itu adalah foto dirinya yang sedang berada di padang ilalang. Dia sedang berdiri diantar ilalang-ilalang yang tinggi. Rivo melihat judul foto itu yang tertera disamping foto itu ‘Secret Garden by Gia’. Ia tersenyum lalu kembali melihat foto yang tingginya sama dengannya itu.
Gia berdiri di luar ruangan dan tersenyum melihat Rivo sedang melihat foto itu lalu menghampirinya.
“Gimana?” tanya Gia.
“Mereka bilang teknik yang lo pake bagus.” Kata Rivo.
“Gue juga denger beberapa orang bilang kalo modelnya ganteng.” Gia tidak mau kalah.
Rivo tersenyum. “Foto ini nanti boleh buat gue, gak?”
Gia mengangguk. “Emangnya mau buat apa?”
“Buat ngegantiin kaca dirumah yang gue pecahin.” Kata Rivo.
Gia tertawa.
“Tapi kok gue masih ngerasa mata gue sayu, ya? Dan muka gue keliatan jelek banget.”
“Rivoooo....jangan mulai deh.” kata Gia. “Liat-liat yang lain, yuk.” Gia pun menggeret Rivo menuju ruangan berikutnya.


Sementara itu, Tya sedang melihat sebuah foto yang membuatnya merinding. Foto tragedi tawuran yang melibatkan Bintang. Tapi kali ini ia tidak mau menangis. Ia berusaha untuk tegar.
“Sampe kapan lo mau mandangin tuh foto?” tanya Resty yang datang membawakan Tya segelas fruit punch.
“Makasih.” Tya menerima gelasnya.
“Res...” panggil Indra dari walkie talkie.
“Ya, Ndra.” Jawab Resty.
“Lo bisa ke ruang tiga gak? Ada foto yang belom ada description-nya, nih.”
“Oh, ok... gue kesana sekarang.” kata Resty. “Ty, bentar, ya...”
Tya hanya mengangguk sambil terus memandangi foto itu. Tidak lama kemudian seseorang berdiri disebelahnya. Dia juga mengamati foto itu.
“Jadi ini peristiwa itu?” tanya orang disebelah Tya.
Tya menoleh. Ternyata itu Bram. “Mm-hm...” angguknya.
“Masih nyesel karena dia pergi?” tanya Bram lagi.
“Hm..” angguk Tya lagi. “Terlalu cepet.”
“Kadang kita emang gak bisa duga...”
Tya mengangguk lagi.


Resty menuliskan deskripsi untuk sebuah foto di selembar kertas seukuran kartu nama lalu menaruhnya di sebuah kotak kecil disebelah foto itu yang disiapkan untuk menaruh kertas deskripsi. Saat ia sedang berjalan keluar ruangan, sekilas ia melihat ada seseorang yang mirip dengan Vino. Namun karena orang itu memakai topi, jadi ia tidak dapat melihat jelas orang itu. Saat Resty ingin mengejar, orang itu sudah keburu pergi dan membaur ditengah para pengunjung. Dan tidak lama kemudian Opank memanggilnya.
“Res...bisa ikut gue sebentar, gak?”
Resty pun berjalan mengikuti Opank dengan segudang rasa penasaran. Tapi sisi lain dirinya mengatakan, ‘Bukan...itu bukan Vino. Lo pasti salah liat. Secara dia udah di singapur’. Tapi ia hapal betul dengan sosok Vino. Bahkan kalau ia melihat Vino dikejauhan, ia pasti langsung bisa mengenali.
Tapi akhirnya ia memutuskan untuk melupakan pikirannya itu dan berkonsentrasi pada pameran.

***

Malam harinya, acara launching sudah selesai. Pengunjung teakhir juga sudah keluar sejak lima belas menit yang lalu. Setelah beres-beres, semua kru pulang meninggalkan lokasi pameran.
“Gimana kalo kita makan-makan dulu?” ajak Opank. “Gue yang traktir deh. Pada laper, kan?”
Semuanya pun setuju. Mereka berjalan ke sebuah restoran Jepang yang tidak jauh dari situ.
“Gak nyangka....pamerannya sukses berat!!” kata Resty sambil membakar udang di panggangan yang terletak ditengah-tengah meja.
“Iya...ternyata banyak juga, ya yang dateng....” tambah Tya.
“Opaaaaank....” Opank membanggakan dirinya.
Semuanya pun bersenang-senang menikmati keberhasilan mereka, bahkan malam ini Gia melihat Rivo tertawa. Walaupun itu cuma senyum kecil saja.
“Hhhhh.....kenyaaaaang.....” kata Indra sambil memukul-mukul pelan perutnya.
“Nyebrang yuk.” Kata Gia yang sudah turun ke jalan tanpa melihat kanan-kiri. Ia pikir karena sudah larut malam, jadi jalanan sudah sepi. Lagi pula dari tadi ia tidak melihat satu mobil pun yang lewat.
Tiba-tiba Rivo mendorongnya ke sebrang. Dan begitu ia menoleh, Rivo tengah tergeletak di tengah jalan dan berlumuran darah. Sepertinya sebuah mobil baru saja menabraknya. Orang yang didalam mobil itu turun untuk melihat keadaan Rivo. Sedangkan Gia hanya diam terpaku di trotoar. Ia tidak bisa bergerak. Ia benar-benar tidak menyangka akan kejadian ini.

***

Hujan turun rintik-rintik saat pemakaman Rivo. Seluruh keluarga Rivo sedang menangisi kepergian Rivo yang begitu cepat dan tiba-tiba. Mereka terlihat menyesal karena telah memperlakukan Rivo dengan sangat tidak adil sewaktu ia hidup.
Tapi Gia hanya diam saja. Ia tidak menangis seperti Tya. Ia terlihat tegar, tetapi sebenarnya dalam hatinya ia sungguh menyesal.
“Ini...semua gara-gara gue.” kata Gia.
Resty memeluk Gia. “Enggak, Gi... ini emang udah takdirnya dia untuk pergi.”
Gia cuma diam saja.
“Lo harusnya seneng, Gi.” kata Tya.
Gia menatap Tya dengan heran. Temen gue yang satu ini bener-bener gak waras. Batinnya.
“Ada yang bilang. Orang baik itu lebih cepet meninggal dari pada orang jahat.” Tya melanjutkan kata-katanya.
Kali ini Gia tersenyum walaupun masih ada sedikit penyesalan dihatinya.

***

Satu minggu kemudian.
Gia terbangun dari sofa studio di sabtu pagi yang dingin. Setelah launching waktu itu. Banyak sekali yang ingin difoto oleh ILALANG Studio. Karena kemarin ia bekerja hingga malam, ia pun memutuskan untuk menginap distudio. Lagi pula ini hari sabtu.
Setelah ngulet-ngulet beberapa saat, Gia berganti kostum olah raga lalu berlari pagi di padang ilalang. Udara pagi disekitar situ memang enak. Pantas saja Opank sering lari pagi kesini.
“Neng...”
Gia mendengar seseorang berteriak memanggilnya. Saat ia menoleh kebelakang, Pak Parmin sedang berlari kearahnya.
“Neng..ini.” katanya saat berhasil sampai didepan Gia lalu memberikan sebuah buku berwarna hitam dan ada tulisan ‘My Secret Garden’ dengan tinta emas.
“Ini apa, Pak?” tanya Gia saat menerima buku itu.
“Ini....diarynya Mas Rivo.”
“Ke-kenapa dikasih ke saya.”
“Tadi sewaktu saya sedang membereskan kamar Mas Rivo, saya menemukan ini.” Katanya. “Ini buat Neng saja. Tidak perlu dikembalikan, toh Mas Rivonya juga sudah tidak ada.”
Gia menatap buku hitam itu.
“Oiya, Neng...ini satu lagi.” Pak Parmin memberikan sebuah kanvas yang lumayan besar padanya.
Gia melihat lukisan di kanvas itu.
“I-ini kan....” Gia kaget. Orang yang berada di lukisan itu mirip sekali dengannya. Tapi sepertinya memang dia. Lukisan Gia yang sedang duduk di beranda studio.
“Itu memang Neng.” Kata Pak Parmin. “Mas Rivo sampe bela-belain beli teropong cuma buat ngelukis Neng.”
“Jadi waktu ngelukis ini, Rivo ngeliat aku dari teropong?”
Pak Parmin mengangguk.
“Permisi, ya, neng...saya masih harus beres-beres.”
“I-iya...makasih, ya, Pak.”
Pak Parmin pun pergi. Gia pun memutuskan untuk duduk di dermaga dan membaca buku itu. Ia menyandarkan lukisan itu di tiang dermaga lalu mulai membuka lembaran pertama diary-nya Rivo.

Hari ini....diasingkan...
Hhhh.....kenapa hidupku harus begini, Tuhan?
Apakah suatu hari nanti akan ada seseorang yang akan mengerti aku?
Yang terlihat dari sini hanyalah hamparan padang ilalang.

Gia melewatkan halaman berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Ia membuka lembaran tengah.

Hari ini...aku berniat bunuh diri.
Danau itu menjadi pilihanku....
Tapi seseorang menyelamatkanku.
Dia lagi....
Kenapa dia harus datang lagi?
Kenapa dia tidak membiarkan aku mati saja?

Beberapa lembar selanjutnya.

Dia...memang terlihat sedikit ambisius...
Tapi manis juga...
Perempuan yang tegar..
Tapi memiliki sisi sensitif....
Aaaahhh....apa mungkin aku suka padanya?

Gia tersenyum lalu membaca lembaran selanjutnya... selanjutnya.... selanjutnya...... dan akhirnya ia sampai dilembaran akhir.

Pagi ini...karena dia...aku akan memulai hidupku lewat sebuah dentingan piano.
Aku tidak akan pernah menyangka kalau hobiku ini akan sangat dihargai orang....
Aku tidak akan merasa terbuang lagi.
Dia yang membuatku seperti itu....
Akhirnya...mungkin memang harus aku katakan hari ini....
Ya..sudah kupuskan...
Hari ini juga aku a kan mengatakan padanya...
Pada Gia......
Tentang perasaan ini....
Sesungguhnya.

Gia melihat tanggal yang tertera diatas. Tanggal yang sama saat Rivo tertabrak. Ini pasti ditulis pagi hari sebelum dia dateng ke pameran. Batin Gia. Tapi...sebenernya....apa yang mau dia bilang ke gue?
“Lagi ngapain, Gi?”
“Eh, Opank....”
“Ini...siapa yang ngelukis?”
“Rivo....”
Opank mengamati lukisan itu.
“Keliatannya..dia jago banget ngelukis. Lukisannya rapi.”
Gia tersenyum, “Keliatannya begitu.”
“Sayang, ya...dia cepet banget perginya....”
Gia mengagguk lalu memandang jauh kearah danau, “Terlalu cepet pergi....terlambat untuk......”
“Untuk apa?”
“E-enggak....”

No comments: