this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 8

BAB 8




Resty sedang berjalan sepanjang lorong kelas IPS saat istirahat. Ia sedang mencari dua temannya. Namun tiba-tiba ada yang mencengkeram tangannya.
“Mma-Manda....?” Resty kaget.
“Res....bisa ngomong sebentar, gak?”
“Eeeeee....”
“Lo gak buru-buru, kan?”
“E-enggak siiiiiih...Emangnya ada apaan?”
Manda pun menggeret Resty.


Sementara itu, sepeninggalan Gia, Tya pergi sendirian ke kantin. Tadinya mereka mau sama-sama mencari Resty dikantin, tapi ditengah jalan, Gia dipanggil oleh panitia buku tahunan untuk membicarakan sesuatu. Jadi terpaksa Tya kekantin sendirian.
“Tya.....” panggil seseorang yang sedang berjalan menghampirinya.
“Hai, Tang....” Tya menyapa Bintang yang sedang berlari dari arah kantin.
“Sendirian aja?” tanya Bintang sambil berjalan disebelh Tya.
“Iya...Gia lagi nemuin panitia buku tahunan.”
“Pantes sendirian aja. Biasanya bertiga sama dua temen lo itu.” Bintang menggigit roti kejunya. “Ngomong-ngomong Jumat kemaren lo kemana? Kayaknya gue liat lo dijemput cowok?”
“Oh, itu.... sepupu gue. Namanya Putra.” Kata Tya. “Jumat kemaren, gue disuruh kerumah kakek gue.”
“Ooooh....” gumam Bintang. “Oiya, gimana kabarnya Koro?”
“Koro....baik-baik aja. Tapi larinya belom bisa cepet.”
Bintang spontan ketawa. “Dasar.... ada-ada aja..”
“Eh, iya..... kata lo Koro punya separo nyawa lo, kan?”
Bintang mengangguk.
“Akhir-akhir ini dia kok kayaknya murung terus, ya? Trus kayaknya agak emotional gitu. Soalnya dia suka nyerudukin badannya ke dinding kandangnya. Jangan-jangan lo juga lagi begitu?”
Bintang tidak menjawab. “Ty... lo mau beli apa?”
“Oh, iya....eee...roti keju satu, Mbak.” Kata Tya pada penjaga kantin.


“Tunggu-tunggu..... gue gak ngerti.” kata Resty pada Manda. “Kepribadian banyak gimana maksud lo?”
“Ini kedengerannya emang gak masuk akal, tapi yaa... emang begitulah Vino.” Kata Manda. “Lo suka ngerasa gak? Kadang dia baiiiik banget, kadang sikapnya maniiiiiis banget, tapi besoknya dia kayak gak kenal sama lo, atau tiba-tiba dia jadi dingin.”
Resty mengangguk. “Tapi kenapa dia begitu?”
“Karena sebenernya dia lagi nyari jati dirinya.”
Lalu dia teringat peristiwa ulang tahunnya Vino kemarin. Resty pun mengangguk. “Oiya, kemaren gue dateng ke ulang tahunnya Vino.....”
Manda terlihat kebingungan. “U-ulang tahun?”
Resty mengangguk. “Katanya dia emang sengaja gak ngundang lo.”
“Res, ini bukan masalah diundang apa enggak. Tapi masalahnya ulang tahun Vino bukan bulan ini. Tapi masih empat bulan lagi.”
“Apa?!!” Resty gak percaya.

***

“Mungkin itu salah satu alesan supaya dia bisa ngajak lo party kali, Res...” kata Gia menanggapi cerita Resty saat mereka berjalan disepanjang Jalan Surabaya. Berhubung guru les mereka gak bisa dateng, jadi jadwal mereka hari ini kosong, maka dari itu mereka memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar Jalan Surabaya.
“Gak...gak...lebih tepatnya....dia cuma pengen nyari temen.” Kata Tya yang sedang memperhatikan benda seperti helm yang dipakai untuk menyelam.
Resty dan Gia menatap Tya. Tatapan mereka seolah mewakilkan pertanyaan yang tidak keluar dari mulut mereka, yaitu ‘Maksud lo?’.
“Gini....lo liat kan disekolah Vino punya banyak temen?” kata Tya.
Gia dan Resty mengangguk.
“Tapi coba deh lo liat bener-bener. Perhatiin deh. Apa Vino punya temen yang selalu bareng sama dia?”
“Maksud lo temen kayak kita gini?” tanya Resty.
“Sip.” Kata Tya. “Gak ada, kan? Kadang Vino sama Dion, kadang sama Angga, kadang sama Derry. Menclok-menclok gitu, deh. Nah....lo simpulin sendiri deh tuh penjelasan gue.”
“Kesimpulannya... dia sebenernya kesepian.” Kata Gia sambil melihat hasil jepretannya pada layar kameranya lalu mulai mengambil gambar lagi.
“Sip.” Kata Tya.
“Trus soal kepribadian gandanya?” tanya Resty.
“Itu ya karena dia gak punya temen. Dia gak pernah punya lingkungan sosial yang tetap untuk ngebentuk jatidirinya. Dia emang bisa beli seluruh dunia, kalo dia mau, dengan uangnya yang banyak itu. Tapi dia gak akan pernah bisa ngebeli jatidiri, kan, Res?” kata Tya lagi. “Jatidiri itu harus dicari sendiri.”
“Udah...tinggalin aja tuh orang....” kata Gia sambil terus menjepretkan kameranya.
“Iya.... berpengaruh buruk.” Kata Tya. “Masukin aja dia ke daftar persona non grata [1] lo.”
Sesaat Resty mencerna kata-kata Tya. Pengaruh buruk? Pikirnya. Kayaknya gue pernah denger orang ngomong gitu, tapi dimana, ya?
“Tapi kok lo gak bilang sama kita kalo lo dateng ke ulang tahunnya Vino?” tanya Tya.
“Ulang tahun palsu.” Gia menegaskan.
“Iya... ulang tahun palsu.” Kata Tya. “Kenapa lo gak cerita sama kita?”
“Eeeee.....itu...itu....” Resty gelagapan. Ia bingung bagaimana menjelaskannya.
“Pokoknya ceritain.” Kata Tya memaksa.

***

Bel pulang berdering nyaring dan panjang. Semua murid berhamburan keluar kelas.
“Duluan, ya, Ty...” pamit Bintang sambil berjalan keluar kelas lalu menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu diluar.
“Cieeee.... sejak kapan Bintang harus pamit sama lo kalo mau pulang?” tanya Sofie, teman sebangku Tya.
“Sejaaaaak....mau tau aja lo.” Kata Tya.
“Yeee....dasar.” kata Sofie lagi.
Tya melihat Gia sudah berada di pintu kelasnya seperti biasa. “Udah, ah... gue balik duluan, ya.” Kata Tya pada Sofie. “Siska, Disa...gue duluan, ya. “ pamit Tya pada dua temannya yang duduk dibelakangnya.
“Yo.....” jawab mereka berdua.
Tya pun menghampiri Gia. Dari kejauhan Resty melambai dari arah kelasnya. Saat mereka saling menghampiri, handphone Gia berbunyi.
“Ya, Pank?” jawab Gia.
“Gi... lo dimana?”
“Gue masih di sekolah. Udah mau pulang sih.” jawab Gia. “Emangnya kenapa?”
“Lo bisa kesini gak?”
“Emang ada apa, sih?”
“Lo kesini aja dulu...nanti juga tau. Cepetan, ya.” kata Opank lalu menutup telponnya.
“Ha-halo...pank? Opank!! Iiiiih… ditutup, lagi.....”
“Kenapa, Gi?” tanya Resty yang baru sampai.
“Hari ini kita gak ada jadwal apa-apa, kan?” tanya Gia.
“Enggak deh kayaknya.” Kata Tya.
“Anterin gue kerumahnya Opank yuk.”
“Pas banget hari ini gue lagi bawa mobil.” Kata Resty.
“Oke...cabuuuuut!!!” kata Tya.

Setengah jam kemudian mereka sampai di rumah Opank. Opank langsung menyambut mereka.
“Untung lo cepet dateng.” Kata Opank.
“Emang ada apaan, sih?” tanya Gia.
“Masuk aja.” Kata Opank.
Mereka berempat pun masuk kedalam studio. Gia sangat terkejut waktu menemukan seseorang sedang duduk di sofa studio yang menghadap ke danau.
“Rivo......” Gia duduk disamping kanan Rivo dan Opank disamping kirinya, sedangkan Tya dan Resty duduk di single chair yang terletak di seberang sofa besar tempat Gia dan Opank duduk bersama Rivo. “Kenapa dateng kesini?”
Rivo menatap Gia dengan muka pucatnya, “Kata lo... gue boleh kesini kalo ada apa-apa.”
“Iya...tapi emangnya lo kenapa?”
“Gue gak ada kenapa-kenapa.”
Tya dan Resty saling berpandangan.
“Gue kesini cuma mau bilang kalo gue setuju.” Kata Rivo. Gia tidak mengeti maksud Rivo. “Gue setuju untuk main piano di pameran itu.”
“Kenapa tiba-tiba lo berubah pikiran?”
“Setelah gue pikir-pikir...... dan setelah diskusi sama Pak Parmin.... gue pikir omongan lo ada benernya juga. “ kata Rivo. “Gue harus bisa buktiin ke orang tua gue kalo yang gue lakuin selama ini ada manfaatnya juga.”
Gia tersenyum. “Harusnya....dari dulu lo begini, Vo....” kata Gia. “Tapi gak apa-apa. Lebih baik telat daripada enggak sama sekali.”
Tiba-tiba handphone Resty berbunyi. Dilayarnya muncul nama Vino.
“Bentar, ya... gue angkat dulu.” Kata Resty lalu keluar dari studio. “Hallo...” kata Resty menjawab telpon itu.
“Lagi ngapain, Res? Kok lama banget diangkatnya?”
“Udah deh.... sebenernya lo mau ngapain nelpon-nelpon gue? mau ngarang kalo lo ulang tahun lagi? Trus bikin gue mabok lagi? Untung waktu itu ada temen gue, kalo enggak.........”
“Kalo enggak kenapa?”
Resty diam saja.
“Gue lagi ngadain party nih dirumah dateng dong.”
“Lo gila kali, ya!!! Sampe kapan sih lo mau party-party kayak gini terus? Emangnya setiap detik hidup lo harus diisi sama party, apa? Emangnya lo gak bisa hidup normal, apa? Emangnya lo gak bisa ngerubah hidup lo, apa? Emangnya lo............. aaaaaah! Gue udah muak sama lo!” Resty pun mematikan handphonenya.
Vino menelponnya sekali lagi, tapi Resty tidak menjawab, ia langsung menonaktifkan handphonenya.

***

Tya berjalan memasuki gedung kantor di hari jumat seperti yang telah dijadwalkan kakeknya. Ia melihat jam tangannya. Masih jam setengah satu kurang. Mira pasti masih makan siang. Secara gue baru masuk jam satu, gitu. Pikirnya. Ia menekan tombol lift, dan tidak sampai satu menit, lift-nya terbuka. Orang-orang kantor keluar dari lift itu. Namun waktu Tya akan masuk ke dalam lift, ia melihat Bram diantara kerumunan orang kantor itu.
“Bram......” panggil Tya.
“Eh....Tya....baru dateng?”
“Iya...tapi kayaknya kecepetan deh. Gue baru masuk jam satu.”
“Ngopi-ngopi dulu yuk...”
“Mmmm....boleh.”


Handphone Resty berbunyi saat ia sedang tidur-tiduran dikamarnya sambil melihat-lihat foto hasil jepretan Gia yang sudah dicetak. Vino. Nama itu tertera dilayar handphonenya. Ia ragu antara ingin menjawabnya dan tidak. tapi saat ia sedang memikirkannya, handphonenya sudah berhenti berdering. Ia kembali melihat foto-fotonya. Namun tidak lama kemudian handphonenya berdering lagi. Dari Vino lagi.
“Hallo....” kata Resty yang akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.


Gia mengajak Rivo ke butik milik tentenya. Lalu ia memilihkan beberapa baju untuk Rivo. Setelah itu Rivo mencoba satu-persatu baju-baju itu di fitting room.
“Ini orang yang kamu ceritain ditelpon waktu itu?” tanya tantenya saat Rivo didalam kamar pas. Sebelumnya Gia memang pernah bercerita tentang Rivo pada tantenya.
Gia mengangguk.
“Tapi gak keliatan kayak orang depresi?” Bisik sang tante.
Gia cuma angkat bahu sambil melihat ke tantenya itu.
“Mana badannya bagus banget, tinggi, ramping, pokoknya kayak model. Dimana kamu nemuin orang antik kayak gini?”
Gia cuma tersenyum, “Long story, Tan…nanti kalo ketemu diarisan keluarga, Gia ceritain deh.”
“Janji, ya.”
Gia mengangguk.

Jam satu kurang lima menit. Tya melihat jam tangannya.
“Duluan, ya, Bram....” kata Tya sambil keluar dari lift.
“Daaah....”
Tya mengangguk sesaat sebelum liftnya benar-benar tertutup. Lalu ia berjalan sepanjang lorong menuju ruangannya. Dan begitu ia masuk, ada orang yang sedang berdiri mengahadap ke jendela besar.
“Mas Rangga?” kata Tya sambil melangkah masuk.
“Jadi....dia siapa?”
“Eeee....ss-siapa?”
“Yang minum kopi tadi.”
“O-oooh... itu.” Tya gelagapan. Darimana mas Rangga tau? Batin Tya. “Dia itu temen aku, dan kebetulan dia kerja didepartemennya Putra.”
“Kebetulan sekali, ya?”
Tya ngangguk-ngangguk.
“Temen apa?”
“Temen.....main.”
“Kamu main sama orang yang lebih tua?”
“Iya.... dia itu fotografer kenalan temen aku. Jadinya aku juga kenal.”
“Fotografer?”
Tya ngangguk.
“Apa...dia orangnya baik.”
“Baik, kok....” jawab Tya.
Tiba-tiba Mira masuk. “Maaf saya telat.” Kata Mira. Lalu Mira hendak keluar lagi waktu melihat Rangga. “Maaf, pak...”
“Eee...gak apa-apa. Saya juga udah selesai.” Kata Rangga pada Mira.
Tya merasa lega.


Resty berjalan memasuki sebuah kafe. Ia melihat Vino sedang duduk di meja dekat kaca jendela air [2]. Vino sedang duduk dengan murung sambil menatap setiap debit air yang mengalir. Didepannya ada sebuah cangkir berisi capucino, bukan alkohol seperti biasanya. Tadi waktu menelpon Resty Vino terdengar seperti bukan Vino yang biasanya berbicara dengan nada angkuh. Tapi kali ini Vino berbicara dengan nada lemah.
“Reeeees.....bisa temenin gue sebentar, gak? Kalo lagi sibuk sih, gak usah.” Kata Vino waktu ditelpon tadi.
Sebenarnya Resty enggan datang mengingat peringatan dari dua temannya dan juga Yozi, jadi ia mengatakan kalau ia sedang sibuk. Tapi hal lain membuatnya datang. Saat ia sedang berpikir, tiba-tiba mas Reza, kakaknya datang dan Resty menceritakan semuanya pada kakak satu-satunya itu.
“Jujur aja......gue setuju sama temen-temen lo itu.” Kata Mas Reza. “Tapi kalo gue jadi elo... gue akan ngikutin kata hati gue dulu. Baru liat apa yang bakalan terjadi nanti. Kadang nekat itu perlu, lho, dek.”
Dan karena itu lah Resty memutuskan untuk datang.
Resty duduk didepan Vino.
Vino kaget sekaligus senang melihat Resty sudah datang, “Katanya lagi sibuk, Res?”
Resty segera menggeleng, “Gak kok....udah selesai. Emangnya ada apa lo nyuruh gue dateng kesini.”
“Gue tau lo maksain dateng, kan?”
Resty kaget, “Enggaaaaak....sebenernya gue emang lagi gak sibuk. Cuma.....”
“Temen-temen lo yang ngelarang lo dateng? Jadi tadi lo bilang kalo lo sibuk?”
Resty segera menggeleng. “Mereka gak tau, kok kalo gue kesini.”
Vino mengangguk-angguk lalu menopangkan dagunya pada tangannya. Ia menatap ke jendela lagi. pikirannya kosong. Sesaat Resty melihat ada yang aneh. Vino yang biasanya angkuh, sombong, banyak gaya, tapi sekarang Resty melihat Vino seperti sudah mendarat ke bumi. Dan sepertinya ia lebih pasrah.
Lalu Vino melihat Resty sambil menertawakan dirinya sendiri.
“Kenapa, Vin?”
“Gak....gue cuma heran. Dari sekian banyak temen gue, tapi kenapa harus elo yang gue panggil ke sini?”
Resty ikut menertawakan dirinya sendiri. “Mungkin karena lo ngerasa gue satu-satunya orang yang bakalan nurut sama lo dan dateng kesini.”
Vino menggeleng. “Bukan.” Kata Vino. “Karena gue ngerasa, lo satu-satunya orang gue yang gue anggap bener-bener manusia.”
Ha? Apa maksudnya? Jadi selama ini dia gak temenan sama manusia? Pantesan aja dia aneh gitu. Batin Resty.
“Maksudnya.... lo satu-satunya orang yang bisa gue ajak ngomong dengan pikiran jernih.” Kata Vino lagi. “Temen-temen gue yang lain….mereka temenan sama gue karena gue kaya, gue populer disekolah, gue punya mobil bagus….”
“Baru sadar?” sela Resty.
Vino cuma tersenyum angkuh. “Dan gue cukup kagum sama lo.”
“Sama gue?”
Vino mengangguk. “Lo cewek pertama yang nolak gue. Lo satu-satunya cewek disekolah yang jutek sama gue. Lo satu-satunya cewek yang gue ajak kerumah tapi lo malah gak mau. Padahal banyak cewek yang pengen dateng ke rumah gue, termasuk Manda.”
“Jadi Manda belom pernah kerumah lo?”
“Belom.” Vino menggeleng. “Lo boleh gak percaya, tapi emang begitulah.”
“Jadi, sebenernya lo manggil gue kesini mau ngomong apa?” tanya Resty.
“Gue pengen ke luar negeri aja, Res. Gue mau mulai semuanya dari awal.”
“Tunggu... gue gak ngerti.”
“Iya... mulai dari awal. Dari nol. Di lingkungan baru dimana orang gak kenal gue.”
“Tapi kenapa tiba-tiba lo pengen begitu?”
“Karena lo udah ngebuat gue sadar.”
“Gue?”
Vino mengangguk, “Oiya, mau pesen minum apa?”


Tya sedang berjalan bersama Mira. Hari ini Mira ditugaskan untuk mengenalkan seluruh seluk-beluk kantor ini. Mira sedang menjelaskan sesuatu, tapi Tya tidak mendengarkannya. Ia melihat Rangga sedang berjalan dengan asistennya. Lalu ia berbelok ke salah satu ruangan yang ada di lorong tempat ia berdiri.
“Eee...maaf, kalo ruangan yang itu apa?”
“Ooooh.... itu departemen......”
Sebelum Mira selesai menjawab, Tya sudah keburu jalan. Tya mengintip kedalam diantara krei-krei yang melintang hoizontal. Disana ia melihat dua sepupunya, Rangga dan Putra sedang berbicara. Dan ia juga melihat Bram diantara mereka. Bram juga ikut bicara. Bukan...lebih tepatnya Rangga yang berbicara pada Bram. Saat Bram sedang sibuk memoto sebuah produk, tiba-tiba Rangga menghampirinya dan berbicara denagnnya. Entah apa yang sedang Rangga bicarakan disana.
“Mbak..... ini departemen periklanan. Mari saya antar lagi....” kata Mira.
“Oooh...I-iya...iya...”


Rivo keluar dari fitting room dengan baju terakhirnya. Sebuah kemeja lengan panjang hitam bergaris vertikal yang dipadukan dengan celana panjang hitam. Tubuh Rivo yang tinggi dan ramping membuat baju itu pas sekali dibadannya.
“Gimana, Gi?” tanya tantenya pada Gia saat ia selesai membenahi dasi Rivo.
“Ini bagus banget. Pas.”
Tantenya tersenyum, “Kalau begitu...ini hadiah untuk Rivo dari Tante. Semoga berhasil, ya konsernya....”
“Cuma pertunjukan kecil aja kok, Tante...” kata Gia. “Makasi banyak, ya, Tante. Jangan lupa dateng ke pamerannya.”
“Iya....nanti Tante pasti dateng.”


“Omongan lo yang ditelpon kemaren itu langsung ngebuat gue sadar. Gue gak bisa terus-terusan begini. Harus ada perubahan di hidup gue. Dan saat itu juga gue mutusin untuk berubah.”
“Iya, tapi kenapa harus diluar negeri? Emangnya gak bisa disini?”
Vino menggeleng, “Gue bener-bener mau mulai segala sesuatunya dari awal. Gue gak bisa berubah ditempat dimana orang udah kenal gue. Dan gue udah diskusiin ini sama kakak gue. Dan dia setuju banget.” Kata Rivo.
“Trus....orang tua lo?”
Vino tersenyum remeh. “Mereka? Mana pernah mereka peduli sama gue? Pokoknya mereka cuma tau ngasih uang ke gue.” katanya. “Tadinya gue juga setuju-setuju aja ngejalanin hidup kayak gitu. Tapi lo yang ngebuat gue sadar kalo........”
“Kalo?”
“Gue sadar kalo gue gak akan pernah biasa ngebeli kebahagiaan pake uang.”
Kali ini Resty yang tersenyum remeh. “Bukannya udah sering?”
“Maksudnya?”
“Pesta, dugem, minum sampe gila.....apa itu belom cukup untuk ngebahagiain lo?”
“Cukup....malah lebih.” Jawab Vino. “Tapi kebahagiaan yang gue dapet dari situ semuanya palsu.”
“Bagus deh kalo lo udah sadar.”
“Tapi.... apa gue gak telat, ya?”
“Gak ada kata telat untuk berubah.”
Vino tersenyum.
“Jadi...lo mau kemana?”
“Gak jauh... paling ke Singapur, Malaysia, atau gak Australi. Ya...sekitar itulah. Kakak gue yang ngurusin.”
“Trus..kapan lo berangkat?”
“Belom tau. Pokoknya begitu urusannya selesai, kakak gue ngabarin, yaudah...gue berangkat.”
Resty mengangguk-angguk.
“Tapi jangan blang siapa-siapa dulu, ya.”
“Kenapa?”
“Yaaa...gue gak mau jadi heboh aja.”
“Dasar orang populer.”
Vino tertawa kecil. “Oiya, kalo gue gak sempet...tolong sampein ke temen lo yang nolongin lo itu, sampein maaf gue karena udah mukul dia.”
Jadi...luka memar Yozi yang waktu itu bukan kepleset, ya? Jadi karena dipukul sama Vino. Batin Resty. Tapi ia malas membahas soal ini.
“Iya...nanti gue sampein kalo gue les.”
“Apa? Les?”
“Iya...dia guru les gue.”
“Gu-guru les?”
Resty mengangguk. “Tapi...itu cuma kerjaan sampingan doang, sebenernya dia punya perusahaan gitu deh. Cuma dari kecil dia emang suka jadi guru.”
“Oooooh....baguslah. Paling enggak gue tau lo bukan ditangan yang salah.” Kata Vino. “Tapi waktu gue balik nanti, gue bakal nebus lo dari dia.”
“Ha? Maksudnya?”
Vino cuma tersenyum lalu meminum capucino-nya.


Gia duduk di kursi pianonya Rivo.
“Tapi gue gak bisa main.” kata Gia.
“Coba dulu..” kata Rivo yang duduk berdua dengan Gia di kursi piano.
“Satu-satunya lagu yang gue bisa judulnya a camel takes a nap.”
“Yaudah...mainin aja.” Kata Rivo.
Gia pun mulai memainkan satu-satunya lagu yang berhasil ia pelajari sewaktu ia belajar piano dulu. Lagu yang hanya berdurasi kurang dari dua menit.
“Udah...cuma lagu itu yang gue bisa.” Kata Gia setelah memainkan lagu itu.
“Lumayan....”
“Ke padang ilalang yuk.”
“Ngapain?”
“Kan gue mau moto lo.” Kata Gia. “Ayooooo....” Gia pun menggeret Rivo.
Mereka pun berjalan menuju padang ilalang.
“Sebenernya...kenapa lo suka lagu secret garden itu?” tanya Gia saat mereka sedang dipadang ilalang.
“Karena artinya yang ambigu.” Jawab Rivo.
“Ambigu [3]?”
Rivo mengangguk, “Suatu saat nanti juga lo ngerti kenapa gue bilang ambigu.”


Hari sudah malam. Tya berada di lift. Sendirian. Tiba-tiba lift berhenti disebuah lantai. Pintunya pun terbuka. Beberapa orang masuk kedalam lift dan salah satunya adalah Bram.
“Eh, kebetulan banget. Sendirian?” tanya Bram.
“Iya...”
“Lhoo...si kacamata mana?”
Tya berpikir sejenak. Si kacamata? “Ooooh... Mira. Dia udah pulang duluan.”
“Oh.....hari ini pulang sama siapa?”
Tya menggeleng. "Belom tau....”
“Sama gue aja. Pak Putra kayaknya lagi lembur.”
“Hari ini Putra lembur?”
Bram mengangguk. “Banyak banget kerjaan yang harus dia selesein.”
Tiba-tiba handphonenya Tya berbunyi. Ada sms.
‘Ty...gue gak bisa nganter lo pulang. Hari ini gue lembur. Banyak banget kerjaan yang harus gue selesein, soalnya ayah mau kerjaan ini selesai secepatnya. Lo bisa pulang sendiri, kan? Atau nanti kalo ketemu mas Rangga minta bareng aja, oke. Putra.’
“Keliatannya emang begitu.”
Mereka pun menuju basement tempat mobil Bram diparkirkan.
“Oiya, tadi mas Rangga ke kantor lo, ya?” tanya Tya saat mereka dijalan.
“Mas Rangga?” tanya Bram. “Ooooh...maksudnya pak Rangga?”
“Iya....Rangga.”
“Tadi dia emang ke kantor. Kenapa emangnya?”
“Dia ngomong apa aja?”
“Gak nanyain apa-apa. Cuma nanya produk apa yang lagi gue foto.”
“Udah, itu doang?”
Bram mengangguk. “Iya. Selebihnya dia ngomong sama sepupunya.”
“Ooooohhhh....”
“Kok lo bisa tau tadi pak Rangga ke departemen gue?”
“Eee....tadi kebetulan gue sama Mira lagi liat-liat kantor. Trus ngeliat mas Rangga masuk ke departemennya Putra.” Kata Tya. “Udah...dia gak nanya apa-apa lagi?”
“Ada, sih satu lagi.”
“Apaan.”
“Dia nanyain gue udah kawin apa belom.” Kata Bram sambil ketawa.
“Mas Rangga nanya gitu?”
Bram mengangguk sambil berusaha menghentikan tawanya. “Pak Rangga....pak Rangga.....”
Dasar Mas Rangga. Batin Tya. Dia pasti udah ngira macem-macem.


[1] Orang yang tidak disukai.
[2] Itu lhoooo....jendela yang dilirin air. Yang keliatannya kayak ujan. Masak gak tau sih? tau kan?
[3] Satu kata mempunyai banyak arti.

No comments: