this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 10

BAB 10




Minah, pembantu rumah Resty tiba-tiba masuk ke kamar sambil membawa seikat mawar putih.
“Itu kok dibawa kesini?” tanya Resty yang sedang sisiran, siap-siap mau berangkat kesekolah.
“Ini...memang punya Mbak Resty.”
Resty mengerutkan keningnya.
“Misi, Mbak....” Minah pamit pergi.
Resty mengamati ikatan mawar itu. Dan ditengah-tengahnya ada sebuah amplop dengan tulisan To : Resty. Resty pun membuka amplop itu.
‘Res...sekarang udah saatnya gue pergi. Hari ini gue berangkat ke Singapur jam setengah sembilan. Hhh...akhirnya gue akan mulai semuanya dari awal lagi. Sebagai orang normal. Oiya, jangan coba-coba nyusul gue ke bandara kayak adegan di film, ya. Hehehe.... sesuai janji gue, suatu saat nanti waktu gue balik ke Indo. Gue akan nebus lo dari temen lo itu. JANJI! Vino.!’
Resty tersenyum, “Dasar orang aneh.”
Ia pun segera mengambil kunci mobilnya dan pergi kesekolah.


Pagi itu, Gia dan Tya sedang duduk di kantin sekolah.
“Masih sedih?” tanya Gia.
“Masih, siiih...tapi gue gak mau mikirin itu lagi. Yang udah pergi, biarin pergi. Gitu, kan?”
Gia mengangguk.
“Gimana persiapan pamerannya?” tanya Tya.
“Beres... tinggal tunggu hari H-nya aja.” Kata Gia. “Pokoknya keren deh!”
Tidak lama kemudian Resty muncul lalu meletakkan sebuah amplop yang bertuliskan To : Resty dimeja kantin. Didepan teman-temannya.
“Apaan, nih?” tanya Gia.
“Baca aja.” Kata Resty lalu duduk dihadapan dua temannya sambil menyeruput es teh punya Tya.
“Jadi...hari ini dia pergi, Res?” tanya Tya setelah membaca isi amplop itu.
Resty mengangguk.
“Trus...lo udah ketemu sama dia?” tanya Gia.
“Belom. Dia perginya mendadak banget. Tadi pagi dia ngirimin kartu ini sama mawar putih.”
“Ya ampun, Res...lo harus cepet-cepet nyusul dia ke Bandara! Mumpung masih pagi...” Kata Tya.
“Tapi dia bilang, gue gak boleh nyusul dia ke sana.” Kata Resty.
“Trus....” kata Gia.
“Trus apanya?” tanya Resty.
“Trus lo mau duduk diem aja di kantin sekolah sementara orang yang jelas-jelas lo suka adri kelas satu SMA, dan dia jelas-jelas mau pergi hari ini juga, jelas-jelas gak tau kapan baliknya, dan jelas-jelas lo belom bilang kalo lo suka sama dia.” Kata Gia.
“Lo belom bilang ke Vino, kan, Res? Lo gak mau bernasib sama kayak gue kan Res? Ditinggalin orang yang lo suka trus lo belom bilang apa-apa sama dia.” kata Tya.
“Tapi..... kita, kan udah disekolah. Gimana caranya kita keluar? Didepan kan dijagain. Mana bisa kita keluar?” Kata Resty.
“Lo bawa mobil?” tanya Gia.
“Bawa...”
“Sip....” kata Gia. “Kita cabut.” Kata Gia lagi lalu menyanggahkan tas selempang hitamnya di pundaknya.
“Cabut!!!??? Lo gila?” kata Resty.
“Kadang gila itu menyenangkan, lho, Res.” Kata Tya lalu segera menggeret Resty.
“Lo tau jalannya, Gi?” tanya Tya.
“Tenang aja... anak-anak kelas gue tuh sering cabut. Mereka pernah ngasih tau jalannya.”
Mereka pun jalan ke bagian belakang sekolah. Lalu naik ke tempat sampah yang menempel pada dinding sekolah. Gia bersiul, entah memanggil siapa.
“Tas lo..” kata Gia pada dua temannya.
Tya dan Resty segera memberikan tas masing-masing. Gia pun melemparkan tas-tas mereka. Lalu dengan cepat mereka melompat keluar tembok.
Ternyata dibalik tembok sana sudah ada segerombolan preman yang memegangi tas-tas mereka. Gia memberi mereka limabelas ribu *harga satu tas lima ribu*.
“Makasih, ya...” kata Gia.
“Sip!!” kata salah satu preman itu. “Lain kali jangan sering cabut lo. Gue denger udah mau ujian. Nanti kalo gak lulus lo malah jadi kayak gue, lagi.”
“Iya...cuma sekali doang, kok. Ini darurat.” Kata Gia.
“Yaudah sana...ati-ati, ye..”
“Sip.” Kata Gia.
Preman yang baik hati. Mereka pun segera berlari ke parkiran sekolah. Gia melihat jam tangannya. Waktunya masih banyak, tapi ia takut kalau jalanan macet.
“Ayo cepet, Res. Kalo perlu kita ngebut.” Kata Gia.


Pukul 7:51 waktu bandara. Setelah berhasil sampai di cengakreng, mereka pun segera berpencar mencari Vino. Namun usaha mereka sia-sia. Tidak satu pun dari mereka yang melihat Vino.
“Tuh...kan...” kata Resty. “Gak ada, kan. Sia-sia, kan?”
“Aduh.... lo jangan nyerah gitu dong.” Kata Tya.
Tiba-tiba handphone Resty berbunyi. Dilayarnya muncul nama ‘Orang aneh’.
“Vi....Vino!! Ini telpon dari Vino.” Kata Resty dengan panik sambil celingkan.
“Cepet angkat.” Kata Tya.
“Hallo....” kata Resty menjawab telpon Vino.
“Kan udah gue bilang jangan nyusul.”
“Lo dimana?”
“Res...sori tapi gue udah mau berangkat.”
“Tunggu..tunggu! Jangan ditutup dulu.”
Vino diam saja.
“Gue cuma pengen bilang....kalo gue udah dari kelas satu suka sama lo. Dan lo gak perlu nebus gue dari siapa-siapa, karena gue bakal nunggu lo...” Resty menangis.
“Eeeeh...kenapa jadi cengeng gitu, sih?” kata Vino. “Yaudah, ya... gue berangkat dulu.”
“Makasih bunganya...”
“Hm...daaah..”
“Dah.”
Dari kejauhan didalam sebuah restoran airport, Vino melihat Resty pergi meninggalkan bandara bersama dua orang sahabatnya.
“Kayaknya...kali ini lo gak salah pilih orang.” Kata Mita, kakak perempuannya yang sedang duduk disampingnya. Vino memang sering cerita ke kakaknya tentang cewek-ceweknya. “Emang, sih... dia gak secantik...siapa nama cewek lo?” kakaknya berusaha mengingat. “Manda.” Akhirnya ia ingat sendiri. “Tapi yang ini manis juga. Dan keliatannya dia cewek baik-baik.”
“Itu yang ngebuat gue suka sama dia.”
“Karena dia manis?”
“Bukan.” Katanya. “Karena dia gak macem-macem, sederhana, dan apa adanya. Gak ada satu pun di dirinya dia yang dibuat-buat. Alami.”
Mita tersenyum, “Sejak kapan lo suka sama cewek alami?” Mita menekankan kata ‘alami’.
“Dia yang pertama.” Jawab Vino datar.
“Trus kenapa lo tinggalin?”
“Justru karena demi dia gue pergi untuk berubah.” Kata Vino. “Tapi gue bakal sesekali dateng kesini buat ngeliat dia.”
“Ternyata adek gue punya sisi bijak juga.”
Vino hanya tersenyum.
“Lo yakin gak mau nemuin dia dulu? Gue yakin dia masih diparkiran.”
Vino menggeleng. “Lo gak mau kan ngeliat adek lo yang ganteng ini nangis didepan cewek, kan?”
Mita tersenyum, “Dasar..” katanya. “Ayo cepetan. Sebentar lagi pesawatnya berangkat.”

***

Hari ini hari jumat. Seperti biasa Tya harus datang ke kantor. Namun hari ini tidak ada pelajaran apa-apa. Tya harus menemui kakeknya.
Tya berjalan sepanjang lorong sepi yang menuju ruangan kakeknya dengan enggan. Setelah sampai didepan pintu ruangan kakeknya, ia menarik nafas lalu mengetuk pintu ruangan kakeknya. Ia mendengarsuara didalam mengatakan ‘Masuk!’. Ia pun masuk lalu duduk dihadapan kakeknya yang sedang menandatangni sesuatu. Rani, sekretaris kakeknya berdiri disamping kakeknya menunggu kertas yang sedang ditandatangani itu.
“Kalau ada tamu, bilang saja saya sedang ada rapat.” Kata kakeknya pada Rani seraya memberikan sebuah map padanya.
“Baik, Pak...” kata Rani lalu pergi.
“Bagaimana keadaan orang itu?” tanya kakeknya.
“Dia....udah meninggal.”
Kakeknya mencibir, “Anak muda yang sia-sia. Kenapa kamu bisa kenal dengan orang yang seperti itu, hah? Sok jagoan.”
Tya hanya tertunduk.


Setelah pulang kerumah dan ganti baju, Gia dan Resty pergi ke studionya Opank.
“Hhhh....gak sabar nunggu minggu depan.” Kata Gia yang sedang berdiri beranda sambil menggenggam kamera kesayangannya.
“Sebenernya...tujuan ngebuat pameran ini apa, sih, Gi?” tanya Resty yang sedang duduk disofa dalam.
“Promosi sekalian launching gitu, deh.” Kata Resty. “Rencananya Opank tuh mau buat studio foto yang eksklusif gitu deh. Jadi dia ngebuat pameran ini untuk nunjukin ke orang-orang hasil fotonya dia.”
“Loh...kok elo, Bram, sama Indra pake ikutan segala?”
“Iya...emang kita timnya.”
“Tim?”
Gia mengangguk lalu duduk disebelah Resty. “Jadi nanti tuh...Opank gak mau buka studio foto yang cuma gitu-gitu aja. Dia maunya tuh bikin studio foto yang ada hunting sama klien-nya juga.”
“Jadi nanti yang mau foto diajak hunting gitu?”
“Sip!” kata Gia.
“Kayak model beneran dong.”
“Iya..makanya itu kelebihan foto studio kita. Eksklusif. Makanya, nanti stiap klien kita bakal dapet foto yang gak sama setiap kliennya.” Kata Gia.
“Jadi intinya cuma promosi sama launching aja?” tanya Resty lagi.
“Ya....pamer juga siiiiih.” kata Gia. “Namanya juga pameran. Soalnya nanti banyak juga fotografer yang dateng. Ya... lo tau, kan Opank banyak banget temennya.”
“Tapi nanti apa gak susah bagi waktunya? Secara lo nanti pasti bakalan sbuk kuliah. Bram juga,kan udah kontrak kerja. Opank banyak banget urusannya. Masak cuma Indra yang kerja?”
“Ya bagi-bagi lah, Res.”
“Kenapa gak dari dulu aja Si Opank buat kayak ginian?” tanya Resty.
“Tau, tuh... secara modal udah ada. Skill apa lagi.tapi kenapa baru sekarang kepikiran, ya?”
“Nungguin lo lulus dulu kali. Biar bisa joinan sama lo.” Kata Resty.
“Apaan, siiiiiiiiih........”


Tya baru saja keluar dari ruangan kakeknya. Pembicaraan berat tentang masa depan perushaan membuatnya sedikit pusing. Saat ia di lift, bukannya menekan lantai yang seharusnya ia tuju, ia malah menekan lantai paling atas. Setelah keluar dari lift, ia naik lagi lewat tangga darurat menuju atap gedung.
Dari sana ia dapat melihat kota Jakarta yang sangat padat. Ia merasa tenang disana. Menenangkan diri adalah hal yang paling ia butuhkan setelah kematian Bintang. Suasananya seperti diatap Primagama, namun hembusan angin yang kencang mengingatkan ia pada padang ilalang. Ia pun membuka mulutnya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.
“Lagi ngapain?” tanya suara dibelakang sana.
Tya membalikkan badannya, “Bram?”
Bram tersenyum.
“Kok bisa tau gue ada disini?”
“Gue bukannya ngikutin lo. Tapi gue juga sering kesini kalo lagi gak ada kerjaan.” Kata Bram lalu berdiri didekat Tya.
“Ooooh....” Tya menatap gedung-gedung bertingkat dan pemukiman padat. “Kok muka lo kusut banget, sih?”
“Hehehe....iya, nih. Gue belom pulang dari kemaren. Abis lembur.”
“Pantes...”
“Waktu itu gue ngeliat lo lagi lari-lari sama Putra. Emangnya ada apaan? Kayaknya buru-buru banget.”
“Oooh...itu.” kata Tya. “Lo mau cerita singkatnya atau cerita panjangnya?”
“Cerita panjang.” jawab Bram tanpa pikir-pikir. “Gue lagi gak ada kerjaan kok. Sebenernya sepupu lo itu nyuruh gue pulang untuk istirahat abis lembur kemaren.”
Tya pun duduk selonjoran di lantai roof, begitu juga dengan Bram. Lalu Tya mulai bercerita tentang Bintang.

No comments: