this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 9

BAB 9




“Yaaaa…nebus. Masak lo gak ngerti, sih?” kata Tya sambil menggosok giginya saat Resty menceritakan soal Rivo padanya lewat telpon.
Hari sudah larut malam, tapi Resty tidak peduli. Ia ingin mendapat penjelasannya sekarang juga. Sebelumnya ia sudah menelpon Gia, tapi jawabannya, ‘Nebus? Resep obat kaleeee pake ditebus segala. Gue gak ngerti deh kalo pake bahasa kiasan begitu. Mending lo telpon Tya deh. Biasanya, kan dia yang ngerti beginian.’ Dari situlah akhirnya Resty memutuskan untuk menelpon Tya.
“Aduuuuuuh….coba lo jelasin sekali lagi.” kata Resty.
“Oke…gini…gini….” Kata Tya berusaha memikirkan kata-kata yang tepat. Ini sudah yang ketiga kalinya Tya menjelaskan, tapi Resty belum mengerti juga. “Maksudnya….selama dia pergi nanti, dia nitipin lo ke Yozi secara gak langsung. Tapi nanti pas Vino balik, dia bakal ngambil lo lagi. Gitu.”
“Bisa diperjelas lagi, gak? Masih bingung.”
Buset deh nih orang. Gue kira, cuma gue sama tukang ikan di Parung itu yang suka rada error. Ternyata Resty lebih gak nyambung lagi. “Aduuuuh….intinya dia suka sama lo!! Suatu saat nanti dia bakal ngambil lo lagi dari Yozi atau orang lain yang nyantol sama lo waktu dia pergi.” Kata Tya. “Masih gak ngerti juga?”
Tut…tut….tut….tut…tut…..Resty langsung menutup sambungan telponnya. Dia senyum-senyum sendirian di kamarnya. Sementara itu Tya sedang sibuk menggetok-getok telponnya yang ia kira rusak.
“Telpon gue kenapa, sih? Pake nge-hang segala....” pikir Tya.

***

Sabtu siang mereka bertiga pergi ke padang ilalang. Gia mendirikan tripotnya dan memasang kameranya diatasnya.
“Lang...lang....lang....lang...lang....lang....lang.....padang ilalang.” Kata Tya saat teringat akan puisi kongkret pada pelajaran Bahasa Indonesia di Primagama waktu itu.
“Lo ngapain, sih?” tanya Resty pada Tya.
“Lagi buat puisi kongkret.” Kata Tya yang sedang mengetik sesuatu di notebook-nya. “Kayaknya gue pengen masukin puisi kongkret deh di cerita gue.”
“Ngomong-ngomong kapan tuh novel jadi?” tanya Resty.
“Bentar lagi.... ini udah 75 persen kok.”
“Eh, semuanya...ayo foto.” Kata Gia memanggil kedua temannya.
Mereka pun berdiri ditempat yang Gia arahkan.
“Oke..kalo gue bilang lompat langsung lompat, ya.” Kata Gia seraya menyalakan timer di kameranya. Setelah itu ia bergabung dengan temannya yang sudah sejak tadi berdiri membelakangi kamera seperti yang ia arahkan. Jadi mereka foto tidak mengahadap ke kamera.
“3....2....1......LOMPAT!!!”
Tidak lama kemudian hujan turun. Untungnya mereka berhasil mengambil beberapa foto, mereka pun segera pulang ke studio.
“Pamerannya kapan, sih, Gi?” tanya Resty yang sedang melihat-lihat notebook-nya Tya.
“Dua minggu lagi.” kata Gia yang sedang sibuk berkutat di depan komputer untuk mengeprint hasil jepretannya.
“Trus yang ngisi live performance-nya siapa?” tanya Tya yang sedang duduk diberanda sambil memeluk lutunya.
“Ada deeeeeh...liat aja nanti.” Kata Gia lalu melihat hasil print-annya.
“Liat, Gi....udah jadi, ya?” tanya Tya yang langsung menghampiri Gia.
Gia memberikan hasil fotonya pada Tya.
“Eh, yang lompat tadi gue mau dong. Print-in lagi buat gue.”
“Iya...iya... ini lagi gue print.”

***

Senin siang setelah pulang sekolah, Tya mendapat telepon dari Putra.
“Ya, hallo....”
“Ty... gue udah di depan sekolah lo, nih.”
“Ngapain?”
“Ayah pengen ketemu sama semua cucunya di kantor termasuk elo. Buruan keluar.”
“Iya..iya... nih gue udah mau jalan keluar.”
Tya pun segera pamit pada dua sahabatnya itu.
“Gue duluan, ya..” pamit Tya.
“Duuuuh.... yang sibuk.” Sindir Resty.
“Iiiiih..rese’ deh.” kata Tya. “Daaaaah...”
“Daaaaaahh...”
Setelah pamit pada dua sahabatnya, Tya langsung menemui Putra diparkiran depan sekolahnya.
“Emangnya Ayah mau ngomongin apa, sih?” tanya Tya saat mereka diperjalanan.
Putra angkat bahu. “Kayaknya sih penting. Menyangkut masa depan.”
“Mas Rangga juga ada?”
“Ya iyalaaaaah...dia kan juga termasuk cucunya Ayah. Lo gimana, sih?” kata Putra. “Emangnya ada apaan? Kok tiba-tiba nanyain Mas Rangga?”
“E-enggaaaaaak....nanya doang.” Kata Tya. Semoga aja nanti mas Rangga gak ngomong macem-macem tentang Bram. Batin Tya.

Sementara itu, Gia dan Resty belum pulang. Mereka main-main dulu dengan si kucing berskin dollar.
“Enak banget Si Tya hari ini gak les.” Kata Gia.
Tiba-tiba segerombolan anak cowok melintas didepan Resty dan Gia. Muka mereka pada sangar semua.
“Ada apaan, sih, Gi? Tumben banget pada pulang bareng-bareng?” tanya Resty.
Gia mengerutkan keningnya. “Gue kok ngerasa ada yang gak beres sama mereka, ya, Res?”
“Ikutin yuk! Hari ini kebetulan gue bawa mobil.” Kata Resty.
“Ngapain ngikutin mereka? Nanti kan kita ada les.”
“Ya-elaaaah... bolos sehari aja kan gak bakalan bikin kita bego.” Kata Resty. “Yuk, ah... buruan.”
Resty pun segera menggeret Gia.


Putra memarkirkan mobilnya di basement lalu mereka segera naik lift keatas.
“Tapi, Put... gue masih pake seragam gini.” Kata Tya saat mereka di lift.
“Udah gak apa-apa. Gak bakal digebukin kok.” Canda Putra.
“Iiiiiiiiiihh...... jayus...”
Saat Tya keluar dari lift, tiba-tiba handphone Tya bergetar. Ada sms. Dari Gia.
‘Ty....hari ini kita gak les juga dooooong a.k.a bolos. Hehehe...’
Tya me-reply smsnya Gia.
‘Lah...lo berdua ngapain? Kok gak les?’ sent.
Dddrrrrrtttttt.......dddrrrrrrrrrttttttttt........
‘Tau nih Resty! Ngajakin Mission Impossible.’
Putra membukakan pintu ruangan kakeknya. Mereka pun masuk. Saat mereka datang, ternyata yang lainnya sudah datang. Ada sepupu tertua Tya yang bernama Putri yang gak lain adalah kakaknya Putra. Ada Rangga, sepupu tertua kedua. Lalu ada Ivan, sepupu tertua ketiga.
“Siang Ayah....” sapa Tya lalu ikut bergabung dengan sepupu-sepupunya yang sedang duduk bersama kakeknya.
“Semuanya sudah lengkap, kan?” tanya kakeknya. Semuanya mengangguk. “Kalian, sengaja Ayah kumpulkan disini untuk.......” kakeknya Tya mulai berbicara panjang lebar tentang masa depan perusahaan, tetapi Tya diam-diam malah sibuk melanjutkan sms dengan Gia.
‘Mission Impossible apaan, sih?’ sent.
Gia tidak membalas. Tya pun mendengarkan kakeknya berbicara. Namun sepuluh menit kemudian handphonenya bergetar.
Dddrrrrrtttttt.......dddrrrrrrrrrttttttttt........
‘Anak cowok sekolah kita tawuran!!!! Gue lagi ngamatin dari jauh sama Resty. Ngeri banget. Tapi gue harus ambil fotonya. Mommentnya jarang banget!’
‘Iiih...hati-hati, lhooo nanti malah lo berdua yang kena pukul.’ sent
Dddrrrrrtttttt.......dddrrrrrrrrrttttttttt........
‘Tenang....kita ada ditempat yang aman kok.’
‘Ooooh....bagus deh..’
Sebelum Tya sempat mengirim sms-nya, handphonenya sudah berada ditangan kakeknya.
“Kamu sedang apa dari tadi?!” tanya kakeknya dengan nada marah.
“Elo siiiih.....” bisik Putra.
“Kamu tidak mendengarkan Ayah, ya? Memangnya sms itu lebih penting dari Ayah?!!”
Tya tertunduk, “Maaf Ayah...Tya gak maksud untuk......” Tya membiarkan kata-katanya mengambang. Ia bingung harus menjawab apa.
Akhirnya setelah menarik nafas, kakeknya kembali melanjutkan pembicaraannya.
Namun tidak lama kemudian, handphone Tya yang ditaruh dimeja kembali bergetar, kali ini bergetar lama sekali. Sepertinya itu telpon, tapi Tya tidak bisa melihat nama yang tertera dilayar handphonenya. Ruangan pun hening. Yang terdengar hanya suara getar handphone. Semua mata sepupunya dan juga kakeknya mengarah padanya.
“Biar....Tya matiin aja handphonenya...” kata Tya seraya mengambil handphonenya dari meja.
“Jangan!!!” kata kakeknya lalu merebut handphone itu dari tangan Tya. “Biar Ayah yang angkat. Ayah pengen tahu...seberapa penting telpon ini dibandingkan dengan Ayah.” Katanya lalu menekan tanda menjawab pada handphone Tya.
Tya dan sepupu-sepupunya dapat mendengar suara diseberang sana sedang berteriak-teriak dikuping kakek mereka. Tapi tidak jelas apa yang dibicarakan. Kakek mereka hanya diam saja mendengarkan suara teriakan itu sambil memandangi Tya dengan raut muka marah. Namun sesaat kemudian wajahnya berubah. Ia mengerutkan keningnya lalu menjauhkan telpon darinya dan memberikan telpon itu pada Tya.
Tya mengambil handphonenya dengan ragu. Namun sorot mata kakeknya seperti mengatakan ‘Ambil aja. Kamu boleh kok bicara sama orang yang disebrang sana.’ Dengan perlahan Tya mendekatkan telponnya pada kupingnya.
“Ha-hallo....”
“TY...LO DENGERIN GUE GAK SIH?!”
“I-iya....kenapa, Gi?” Tya mengecilkan volume suaranya sambil sesekali menatap pada kakeknya yang sedang memperhatikannya.
“BINTANG BERDARAH!!! DIA KORBAN TAWURAN!! SEKARANG DIA LAGI DIBAWA KERUMAH SAKIT SAMA KITA!! PARAH BANGET. LO CEPETAN KESINI, YA KALO UDAH SELESAI URUSAN SAMA KAKEK LO. CERITANYA PANJANG!!!”
Tut...tut...tut.....tut.....tut.....
Tya masih tidak percaya apa yang ia dengarkan di telpon barusan. Ia tidak ingin percaya. Sangat ingin tdak percaya. Ia sangat ingin berpikir kalau Gia sedag berbohong. Tapi sisi lain dari dirinya sangat percaya kalau suara panik Gia barusan sungguh nyata. Bukan dibuat-buat. Apalagi Gia paling gak bisa akting. Tya pun mulai gemetaran dan mengeluarkan air mata.
“Sana pergi....urus dia dulu.... nanti baru bicara sama Ayah lagi.” kata kakeknya dengn perihatin. “Putra...antarkan Tya...”
“Iya, Ayah.”
Tya segera lari keluar secepat yang ia bisa. Putra pun segera mengejarnya. Tya berhenti didepan lift menunggu lift datang. Tapi lift-nya tidak kunjung terbuka juga. Akhirnya ia turun melalui tangga darurat. Ia tidak pernah bisa lari secepat ini. Kalau soal olah raga, diantara mereka bertiga, Tya lah yang paling payah. Tapi kali ini entah kenapa ia bisa lari secepat ini. Ia juga tidak tahu. Sesampainya dibawah, ia bertemu Bram. Tapi menyapa pun Tya tidak sempat ia terus berlari diikuti Putra dan meninggalkan Bram yang heran melihat anak SMA lari secepat itu diikuti oleh seseorang yang Bram kenal sebagai bos didepartemennya.
“Put....cepet, dong!! Cepet...cepet.....” kata Tya dengan Panik.
“Iya....sabar, Ty.... ini kan lampu merah...” kata Putra dengan sabar.
Akhirnya dua puluh lima menit kemudian mereka sampai di rumah sakit tempat Bintang dilarikan oleh Resty dan Gia. Tya melihat dua sahabatnya itu sedang berada di ujung lorong rumah sakit. Orang tua Bintang juga ada disana. Tya segera berlari kesana.
Resty segara memeluk Tya yang sedang panik. “Sabar, ya, Ty..”
“Gimana Bintang? Baik-baik aja, kan?”
“Kalo dua tusukan di perut...gue gak yakin masih bisa dibilang baik-baik aja.” Kata Gia.
“Giaaa!!...” Resty memelototi Gia. “Tenang aja, Ty...dia lagi dioprasi, kok.”
Mereka pun menunggu dan berdoa. Berharap semoga Bintang masih diijinkan untuk hidup. Dua jam kemudia dokter pun keluar dari ruang oprasi. Semuanya pun beranjak dari tempat duduk dan mengerubungi dokter itu. Berharap si dokter tersenyum dan mengabarkan berita baik. tapi si dokter cuma geleng-geleng kepala dengan raut wajah menyesal. Sedetik kemudian Mamanya Bintang nangis histeris. Namun Tya tidak mau percaya sebelum melihatnya sendiri. Kali aja dokternya lagi bercanda.
“Boleh saya liat Bintang, dok?” tanya Tya dengan memelas.
“Ya...silakan.....”
Tya pun masuk ditemani Resty. Sementara itu Putra hanya terpaku dari jauh melihat sepupunya yang bisanya selalu riang sekarang panik.
Diruang oprasi yang dingin. Para suster sedang memberesi alat-alat oprasi. Dan ditengah-tengah ruangan Bintang terbaring di meja oprasi. Tubuhnya kaku. Tya mendekati meja oprasi dengan perlahan. Lalu ia kembali menangis.
“Kenapa Bintang gak bangun, Res? Kan oprasinya udah selesai. Res... Bintang harus bangun. Besok, kan harus sekolah.”
Resty segera membawa Tya keluar.

***

Keesokan harinya, pemakaman Bintang dilaksanakan pada pagi hari menjelang siang. Teman-teman sekelasnya dan perwakilan setiap kelas diberi dispensasi untuk melayat. Resty dan Gia untungnya termasuk orang yang diberi dispensasi. Sebenarnya mereka bukan termasuk yang mendapat dispensasi, tapi mereka memaksa teman mereka yang mendapat dispensasi untuk bertukar dengan mereka.
Resty dan Gia memeluk Tya yang terus saja menangis.
“Udah, Ty....jangan nangis. Harus direlain, ya....” kata Resty.
Sudah yang kesepuluh kalinya Resty berkata seperti itu. Tapi Tya tidak juga berhenti menangis. Urukan tanah pun semakin tinggi. Dan semakin menenggelamkan Bintang.
“Res....apa nanti Bintang gak kedinginan didalem sana? Res... bilang sama tukang kuburannya, jangan banyak-banyak tanahnya. Res... nanti Bintang kelaperan. Res......”
Resty memeluk Tya lebih erat.
“Tya.....udah, dong...” Gia berusaha menenangkan sahabatnya itu.

Sore hari menjelang malam, Tya sedang duduk di meja dapur rumahnya. Hari itu rumahnya sepi. Semua orang belum kembali dari aktivitasnya. Ia membiarkan TV menyala agar suasananya tidak terlalu sepi. Dari meja dapur, matanya berkeliling kesetiap sudut rumah. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah kotak panjang berwarna biru yang tergeletak disudut meja dapur yang ia kenal sebagai keju blok. Ia pun meraih keju itu.
Keju itu mengingatkannya pada Bintang. Bintanglah orang pertama yang membuat ia suka pada roti keju. Tya pun memakan keju blok itu langsung dari bungkusnya. Tidak peduli nanti Ibunya marah-marah kalau tahu soal ini. Ia cuma ingin makan keju. Dan dari kejauhan, ia melihat berita di TV. Berita tentang tawuran antar pelajar sekolahnya dengan sekolah lain. Tya kembali menangis.
Tidak lama kemudian, adiknya yang paling kecil, yang baru berumur empat tahun datang menghampirinya.
“Kakak Tya kok nangis?” kata Carina.
Tya segera menghapus air matanya lalu mengangkat adiknya ke kursi meja dapur disebelahnya.
“Enggak kok...aku gak nangis.”
“Aku juga mau keju.....” katanya lagi.
Tya pun mengambil pisau dan memotongkan keju untuk adiknya itu. Setelah memotongkan keju, ia melihat pisau itu lekat-lekat. Pisau dapur yang tajam yang biasanya dipakai oleh pembantunya. Namun sedetik kemudian ia melempar pisau itu jauh-jauh. Ia gemetar ketakutan.
“Astagfirullah Mbak Tya.....” pembantunya yang sedang lewat langsung kaget saat melihat sebuah pisau melayang. “Kenapa pisaunya dilempar?” tanya pembantunya lalu memungut pisau itu.
“Jjja-jauhin!! Jauhin pisaunya.” Tya histeris lalu berlari ke kamarnya.
Ia duduk ditempat tidurnya sambil memeluk kandang Koro.
“Koro.......kamu jangan pergi juga, ya....” kata Tya.

***

Rabu pagi. Tya datang pagi-pagi sekali untuk menghindari macet. Dua sahabatnya belum datang. Kelasnya juga masih sepi. Baru beberapa anak surga [1] yang duduk didepan saja yang sudah datang sepagi ini.
“Pagi...” Tya menyapa anak-anak surga itu dengar suara serak.
Ia melihat tempat duduknya Bintang. Masih kosong. Tapi memang akan tetap kosong selamanya. Ia pun menghampiri tempat duduk Bintang yang terletak di barisan ketiga dari pintu dan baris kedua dari belakang. Tya duduk disana. Memperhatikan meja Bintang yang penuh coret-coretan. Ada rumus ekonomi. Kebetan yang ditulis dimeja dengan spidol. Atau sekedar coret-coretan saja. Tapi ada sebuah tulisan yang membuat dada Tya sesak. Yaitu tulisan ‘Bintang sayang Tya’ yang tersembunyi dibalik coret-coretan itu.
Tya mulai menagis lagi. Sofie teman sebangkunya yang baru datang terkejut melihat Tya yang sedang menangis di meja Bintang. Sofie pun menghampiri Tya.
“Ya ampun, Ty.... lo kenapa?” tanya Sofie.
Tya segera mengahapus air matanya. “Gak apa-apa...” kata Tya lalu pergi keluar kelas.

***

Pulang Primagama, Tya mampir ketaman. Disana ada Miko sedang duduk dibangku taman seperti biasa. Beberapa anak kecil sedang main diperosotan dan beberapa lagi sedang main diayunan. Tya duduk disamping Miko yang sedang melihat awan sore yang berwarna kemerahan.
“Akhirnya gue tau. Apa keuntungan jadi orang kayak lo.” Kata Tya sambil menerawang kearah langit sore. “Orang kayak lo justru beruntung terlahir seperti ini. Karena dengan begitu. Lo gak pernah ngerasain yang namanya sedih.” Tya berusaha untuk tidak menangis.
Miko memang punya kelainan pada otaknya, tapi sepertinya otak Miko tahu kalau orang yang duduk disampingnya ini sedang bersedih. Miko pun memegang pundak Tya.
“Ja.....ngan.....na.......ngis.” kata Miko dengan ajaibnya.
Tya berusaha terlihat tertawa walaupun air matanya sudah keluar. “Siapa yang nangis. Gue lagi ketawa kok.” Kata Tya.
Dan dengan ajaibnya Miko mengahapus air mata Tya yang sedang mengalir.
“Ja.....ngan.....na.......ngis.” ulangnya dengan terbata-bata.
Tya menyedot ingusnya yang meler. “Iya.... gue emang harus terima ini. Gimana pun juga...Allah udah berkehendak. Gue gak bisa apa-apa.”
Miko tersenyum padanya. “Se....nyuuuuum.....”
Tya pun tersenyum haru pada Miko.

[1] Maksudnya anak-anak berotak pinter dan berakhlak mulia. *halah!*

No comments: