this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 5

BAB 5




Minggu pagi yang cerah. Hari masih sangat pagi. Matahari pun baru muncul sedikit di ujung langit sebelah timur dan pagi itu langit berwarna biru yang bergradasi dengan warna merah menyala. Langit juga ditutupi awan cirrus cumulus, awan yang membentuk gumpalan-gumpalan kecil.
Jam kamar Tya menunjukan pukul 7:17. Namun di hari yang masih sepagi itu Tya dibangunkan oleh suara musik senam ibu-ibu komplek. Rutinitas ini baru dimulai sejak minggu kemarin. Entah kenapa ibu-ibu komplek itu malah demen senam di jalanan komplek ketimbang di studio senam.
Dengan mata masih belekan dan masih meluk guling, Tya membuka pintu berandanya dengan emosi. Lalu ia menatap dari kejauhan ke arah gerombolan ibu-ibu yang sedang senam dengan raut muka kayak orang mau tawuran.
“Yang dibelakang masih semangaaaat......sekarang kita masuk ke step kedua. Geraknnya lebih cepat...ayo semua!! En wan, en tu, en tri....serong kanan.....en wan, en tu, en tri serong depan....ayo..semuanya gerak....” kata sang instruktur sambil bergerak dengan lincah.
Melihat fenomena itu, Tya makin kesal. Akhirnya, hewan-hewan kebon binatang pun jadi diabsenin satu persatu sama Tya. Gak satu binatang pun yang kelewat dari mulutnya. Mulai dari serangga, hewan purba, hewan yang terancam punah, hewan melata, hewan menyusui, karnivora, herbivora, omnivora, ovipar, vivipar, ovovivipar, ber sel satu, sampe yang membelah diri pun dia sebutin.
Tapi belum sempat dia ngabsenin semua binatang, tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Tya pun segera menjawab telpon itu.
“HALOH!!” jawab Tya dengan emosi sampe-sampe dia pake aksen ‘H’ untuk mempertegas.
“Buset.....” kata suara disebrang sana. “Jangan keras-keras napa?”
Tya pun menarik napas, “Napa Res?”
“Gue sama Gia ada di depan nih...”
Tya pun membuka pintu kamarnya dan mendapati kedua temannya disana.
“Kirain di depan mana.”
Kedua temannya nyengir kuda lalu menghambur masuk ke kamar Tya yang berantakan kayak kapal tengki meledak. Tya itu emang suka sembarangan kalo naro barang. Jadi, yaaa... begitu deh bentuk kamarnya.
“Kirain tadi di kamar lo lagi ada orang. Makanya gue telpon dulu.” Kata Resty.
“Tadi lo ngomong sama siapa, Ty?” tanya Gia. “Kedengerannya heboh banget.”
Gimana gak heboh? Orang pake ngajak satu kebon binatang segala.
“Noh.... “ kata Tya sambil menunjuk ke arah luar berandanya. “Orang masih pagi bukannya tidur malah jumpalitan di jalan. Mana berisik banget. Ganggu orang tidur aja.”
“Itu namanya senam bodoooooh.” Kata Gia.
“Kok lo gak ikut senam?” tanya Resty sambil melipat selimut Tya dengan rapi. Ini sudah jadi kebiasaan Resty. Dia paling gak suka ngeliat sesuatu yang gak rapi dan gak pada tempatnya. Kebalikan sama Tya yang suka sembarangan.
“Dih.... mendingan gue tidur. Secara dari senen ampe jumat bangun jam setengah lima, trus baru balik jam enam. Ya mendingan gue tidur, kan? Istirahat itu penting.” Kata Tya yang sedang menyisir rambutnya dengan jari lalu ia ikat ekor kuda.
“Dasar kebo...” kata Gia sambil memainkan jam pasir milik Tya.
“Biarin. Yang penting idup.” Kata Tya sambil membuka makanan yang dibawa Gia.
“Ih, secara, ya jumat kemaren kan libur, trus kalo sabtu emang kita gak sekolah. Capek dari mana?” kata Gia.
“Gila lo, ya. Baru melek langsung makan.” Kata Resty.
“Biarin. Tapi kan jumat kemaren gue pergi. Jauh, bhooo...parung!!” Balas Tya. Gak lama kemudian, dia mengalami keselek yang sangat parah. “Minum...minum..”
Gia pun mengambil sebotol air mineral yang berada diatas meja belajar. Tya langsung menenggak air itu.
“Makanya....kalo makan pelan-pelan.”
“Eh...udah, deh. Jalan yuk. Nyokap nitip macem-macem, nih.” Kata Resty.
“Oiya, anterin gue ke toko buku sekalian, ya. Gue mau nyari buku, nih.” Kata Tya.
“Yaudah......” kata Resty. “Tapi sebelomnya gue mau ke Widayanto sama beli bunga dulu, biasaaa....pesenan nyokap.”
“Ayo....” kata Tya semangat.
“Yeeee... elo madi dulu lah. Mata masih belekan gitu.” Kata Gia.
“Oiyaa...hehehe..” Tya nyengir kuda. “Yaudah... gue mandi dulu, ya. Tungguin, ya.”
“Iyaaaa....buruan!!” kata Resty.
“Eh, makanannya jangan diabisin dulu.”
“Iya..iya...buruan gih sana!!” kata Gia.

***

Mobil Resty melintas di kawasan Setiabudi. Dan tak lama kemudian, mereka sudah sampai di sebuah rumah yang berada tepat di depan SMAN 3. Dari luar, rumah itu tampak seperti rumah biasa, namun itu adalah sebuah gallery milik F. Widayanto, seorang seniman keramik yang cukup terkenal.
Mereka suka sekali kesana. Awalnya mereka main ke open calss-nya Widayanto yang berada di Tanah Baru. Iseng-iseng buat keramik dengan cetakan yang sudah disediakan. Setelah beberapa kali kesana dan membuat berbagai macam bentuk bongkahan, lama-kelamaan mereka jadi ketagihan. Tapi karena lokasi Tanah Baru lumayan jauh dari rumah mereka, jadi mereka hanya sesekali saja kesana dan lebih sering main ke galeri yang di Setiabudi. Walaupun gak bisa membuat keramik sendiri seperti yang di Tanah Baru, tapi toh yang di Setiabudi memberikan berbagai macam pilihan pernak-pernik yang cukup menarik.
Begitu sampai disana, Mas Darmo menyambut mereka. Mas Darmo adalah salah satu penjaga galeri ini. Karena saking seringnya mereka datang, mereka sudah sangat akrab dengan Mas Darmo.
“Dateng lagi?” kata Mas Darmo. “Baru beberapa minggu yang lalu.” Kata mas Darmo.
“Iya... Mama minta dibeliin cangkir lagi. Katanya mau dikirim ke sodara yang diluar negeri.” Kata Resty lalu mengajak Tya memilih beberapa cangkir dengan hiasan daun, cicak, sampai tokek.
“Mas Darmo.... aku boleh ke kamar atas gak?” tanya Gia. “Mau foto dari beranda atas.”
“Oh...boleh.... silakan. Mari saya antar.” kata Mas Darmo.
Gia pun diantar keatas. Ke sebuah kamar milik Pak Yanto yang terdapat beranda besar yang boleh diakses para pengunjung. Dan dari beranda itu dapat terlihat pemandangan kota Jakarta.
“Beruntung banget, ya Pak Yanto bisa buat kamar dengan pemandangan yang indah gini.”
“Yaaa... begitulah, Mbak.”
Setelah mengambil beberapa foto, Gia pun turun ke bawah dan kembali bergabung denan Resty dan Tya yang sedang membayar belanjaanya.
“Udah, Gi....” tanya Tya.
“Udah....” kata Gia.
“Yuk.....” kata Resty yang sudah selesai dengan belanjaannya.
“Mas Darmo....makasih, ya.” Kata Gia.
“Ya..ya, Mbak. Sering-sering kesini lagi, ya, Mbak..”
Mobil Resty melaju lagi. Menyusuri jalanan ibu kota lagi. lalu berhenti di sebuh toko bunga pinggir jalan yang menjual berbagai macam bunga *Ya, iyalah. Masak toko bunga julan semen*. Resty pun memilih-milih bunga pesanan Mamanya.
“Buat apaan tuh bunga, Res?” tanya Gia yang sedang melihat-lihat mawar.
“Tau...nyokap. Katanya biar ruangannya wangi.”
“Emangnya itu bunga apaan, sih, Res?” tanya Tya.
“Ini namanya sedap malam.” kata Resty sambil meminta bunganya dibungkuskan.
“Sedap malam?” tanya Tya seperti baru pertama kali melihat bunga.
“Iya....sedap malam. Dinamain sedap malam karena wanginya cuma kalo malem doang, Ty...masak gak tau, sih?” kata Gia.
“Wanginya cuma malem doang, Gi?”
Gia ngangguk-ngangguk.
Tya mengambil sebatang bunga sedap malam lalu diam dan mikir sambil mengendus kelopak bunga yang masih kuncup itu. Kali ini ia bener-bener mikir.
“Ini bunga Indonesia, Gi?” tanya Tya kemudian.
“Iya....” kata Gia. “Kaliiii.....gak tau gue.”
“Di luar negeri ada gak, Gi?”
“Mana gue tau.” kata Gia. “Emang kenapa?”
“Gini lho....” Tya menatap Gia dengan muka ‘sok iye’. “Kata lo bunga ini wanginya kalo cuma malem doang, kan?”
Gia mengangguk. Resty yang menyadari akan ada suatu pembicaraan yang gak penting langsung menyingkir sambil memilih-milih seikat lagi namun tetap memperhatikan kedua temannya itu.
“Sekarang bunga ini kan ada di Indonesia, trus kalo di bawa ke luar negeri, misalnya Amerika, apa bunganya bakal wangi siang-siang, ya, Gi? Secara Indonesia sama Amerika kan beda 12 jam aja, gitu.”
“Maksud lo jetlag?” tanya Gia.
“Yaaa.... something like that lah. Secara kalo orang Indonesia keluar negeri pasti jadwal tidurnya jetlag kan? Sekarang gini deh, manusia yang katanya makhluk paling sempurna aja bisa jetlag, apa lagi bunga yang bukan makhluk sempurna. Ya, toh?” Kata Tya sambil menunjuk Gia dengan setangkai bunga sedap malam.
Gia terlihat berpikir. Kali ini dia tidak mendebat Tya. Yang pertama karena Gia tidak tahu-menahu soal bunga. Dan yang kedua, Gia juga penasaran. Secara dia gak pernah mikirin hal kayak gitu. Gia lebih tertarik untuk mikir tentang politik, ekonomi, sejarah, atau suatu hal yang lebih sedikit penting dari pada bunga sedap malam. Misalnya tentang warna Jakarta. Tapi kalo bunga? Tau cara ngurusinnya aja enggak.
“Trus gimana juga kalo si bunga sedap malam dibawa ke kutub? Secara, ya, Gi...di kutub kan malemnya lebih banyak. Berarti dia wangi terus, dong.” Kata Tya lagi yang bikin Gia nambah mikir.
Gia masih diam. Masih berpikir keras. Beneran lho!
Tapi belum sempat Gia menjawab, Tya sudah mengeluarkan pertanyaan lagi. “Naaaah...gimana juga sama nasibnya si bunga pukul empat? Yang berbunga kalo jam empat itu lhooo. Kalo di luar negeri jetlag juga dong. Ya, gak, Gi?” kata Tya. “Oke.... gak perlu di luar negeri, di Irian Jaya aja deh. Secara kan cuma beda dua jam lebih awal tuh. Berarti mekarnya jam enam dong. Tapi berarti di Irian, namanya jadi bunga pukul enam dong. Masak disetiap daerah namanya beda-beda?”
“Udah deh, Ty....jangan bahas yang gak penting lagi. Lo jadi ke toko buku gak?” tanya Resty yang datang dengan dua ikat bunga sedap malam yang satu ikatnya lumayan banyak. Resty sampai harus memeluk ikatan bunga itu karena saking banyaknya. Gia pun mengambil alih satu ikat.
“Lho.... kok gak penting, sih, Res? Gue kan cuma pengen tau.” kata Tya. “Coba, deh, Res. Lo kan anak IPA. Mungkin lo lebih tau. secara ini bidang lo gitu.” Kata Tya yang menunjuk Resty dengan setangkai bunga sedap malam yang dari tadi ia pakai untuk menuding Gia.
“Tapi, Ty...gue kan gak belajar apakah sebuah bunga sedap malam dan bunga pukul empat bisa jetlag apa enggak? Gue belajarnya tentang bagaimana sebuah bunga bisa berkembang biak.” Kata Resty.
“Tapi seenggaknya kan lo tau teorinya, Res.....” kata Tya lagi.
Resty malas membahas hal ini. Ia pun mengambil setangkai bunga sedap malam yang Tya pegang dan mengembalikannya.
“Tya...mending sekarang kita ke toko buku. Siapa tau lo bisa nemuin jawabannya disana.” Kata Resty lagi lalu segera masuk mobil.
“Nah...bener tuh. Dari pada lo bikin gue pusing. Kalo tentang kurs dollar atau perang dunia lo boleh deh tuh tanya ke gue.” Kata Gia seraya masuk ke mobil.
Tya angkat bahu lalu ikutan masuk ke mobil. Walaupun masih penasaran sama pertanyaan “Apakah bunga sedap malam dan bunga pukul empat bisa jetlag?” Mungkin diantara anda ada yang tau? silakan kirimkan jawaban anda ke nomer dibawah ini. Ketik Tyabolon Jawaban.
“Ngomong-ngomong gimana acara jalan-jalan lo sama Bintang?” tanya Resty.
Akhirnya di perjalanan menuju toko buku Tya pun lupa dengan si bunga sedap malam dan sibuk menceritakan perjalanannya dengan Bintang.

***

Keesokan harinya saat pulang sekolah. Resty dan Gia sedang menemani Tya duduk di lobi sekolah. Mereka sedang menunggu Putra, sepupu Tya. Tadi waktu istirahat Putra menelpon kalau hari ini mereka akan kerumah kakeknya. Ada sesuatu hal yang ingin kakeknya bicarakan pada cucu-cucunya.
“Eh, liat deh.” kata Gia sambil mengangkat seekor kucing kampung berwarna oranye dan berbuntut pendek.
“Meooong.... uuuuuh...kamu gendut.” Kata resty pada sikucing sambil mengelus-elus kepalanya.
“Liat badannya.” Kata Gia lagi sambil menunjuk ke sebelah kiri badan si kucing yang rada botak.
“Iiiihh... kasian.” Kata Tya.
“Bukan itu maksud gue.” kata Gia. “Liat baik-baik bentuk skin-nya.”
“Itu bukan di skin kaleeee......” Kata Resty. “Paling gara-gara berantem”
“Iyaaa.... tapi tetep aja bisa disebut skin, kan?” kata Gia ngotot.
“Iya..iya...” kata Resty.
“Emangnya betuknya kayak apaan, Gi?” tanya Tya.
“Kayak lambang dollar.” Jawab Gia.
Resty dan Tya pun memperhatikan dengan seksama skin-an kucing itu. Memang terlihat seperti lambang dollar walaupun tidak sempurna.
“Ih, iya bener, Gi.” Kata Resty.
Merekapun memain-mainkan kucing itu sampai akhirnya sesosok manusia yang agak gendut berambut keriting dan gondrong sebahu bernama Putra datang.
“Nah..itu Putra....” kata Tya saat melihat Putra dari kejauhan seraya melambai padanya.
“Gak salah, Ty?” tanya Resty.
“Iya...Kok eksekutif kayak slankers gitu?” tambah Gia.
“Dia emang udah begitu dari dulu...” jawab Tya.
“Ayo, Ty... udah ditungguin sama ayah.” Kata Putra saat menghampiri Tya. Ayah disini maksudnya kakek mereka. Sudah dari kecil mereka memanggil kakek-nenek mereka dengan sebutan Ayah-Mami.
“Gue duluan, ya.” pamit Tya pada dua temannya. “Nanti gue nyusul ketempat les.”
“Sip.” Kata Gia.
Tya pun pergi.
“Eh, Res... gue mau ke toillet dulu, ya.” Kata Gia.
“Yaudah. Gue nunggu disini, ya.”
Gak lama setelah Gia pergi, sepasang kaki tengah berdiri dihadapan Resty. Resty mendongak untuk melihat orang yang berani berdiri didepannya itu.
“Hai, Res...”
“Vino!!” kata Resty. “Ngapain lo?”
“Lo sendiri ngapain disini sendirian?”
“Siapa bilang gue sendirian. Gue sama temen gue, kok. Tapi dia lagi ke toilet.” Kata Resty dengan jutek.
Vino menunduk pada resty sambil tersenyum, “Gue kesini cuma mau ngasih lo ini.” Kata Vino sambil menyerahkan selembar kartu pada Resty.
“Apaan, nih?”
“Lo baca aja sendiri.” kata Vino. “Jangan sampe gak dateng, ya...” kata Vino lagi seraya pergi.
“Sori, Res lama. Ngantri.” Kata Gia yang tiba-tiba datang. Resty pun segera menyembunyikan kartu itu.
“Gak apa-apa kok.” Kata Resty. “Mau balik sekarang?”
“Yuk.”

***

Sorenya di primagama. Tya menaiki tangga Primagama dengan gaduh dan sampailah ia di atap primagama. Ia langsung menemui dua temannya yang sedang tiduran di lantai semen roof dialasi sebuah handuk bekas dan kepala mereka diganjal dengan tas masing-masing.
“Hai..hai...lagi pada berjemur, ya?” kata Tya lalu bergabung tiduran dengan dua temannya itu.
“Gigi lo berjemur.” Kata Gia.
“Tadi lo ngapain ke rumah kakek lo, Ty?” tanya Resty yang sedang makan ciki.
“Oiya...kabar buruk.” Kata Tya menanggapi Resty.
“Biar gue tebak. Lo pasti mau dikawinin sama Kakek lo. Siapa calonnya?” kata Resty.
“Sialan lo.” Kata Tya seraya melempar Resty dengan tisu.
“Lah.. Trus apaan dong?”
“Gue disuruh gabung ke perusahaannya kakek gue.”
“Enak dong.” Kata Gia.
“Iya...enak kalo nanti waktunya gue udah kerja. Tapi kakek gue nyuruhnya sekarang!! Kuliah aja belom.” Kata Tya. “Emang siiih...sekarang cuma belajar-belajar doang, tapi kan tetep aja gue males. Mendingan gue maen-maen sama lo berdua.”
“Cuma lo doang yang disuruh gabung?” tanya Gia.
“Ya, enggak. Sepupu-sepupu gue yang laen juga. Kayak Putra, trus ada tiga orang sepupu gue lagi.”
“Trus ngapain lo bingung? Kan ada sepupu-sepupu lo?” kata Resty.
“Ya, plis deh. Putra kan udah selese kuliah. Trus yang tiga orang lagi ada yang kebetulan baru lulus, ada yang emang udah saatnya kerja, ada yang udah gabung di perusahaan kakek gue dari dulu. Sementara gue lulus sekolah aja belom.”
“Yaudahlah, Ty... jalanin aja. Lagian itu kan kakek lo yang minta.” Kata Gia.
“Iya... gue tau.” Kata Tya.
Lalu sebuah pesawat pun lewat tepat diatas mereka. Angin berhembus dengan kencang.
“Eh, gue mau nanya deh sama lo berdua.” Kata Resty.
“Apaan?” tanya Tya.
“Menurut lo kalo.................”
KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING!!!!!!!!!!!!!!!!!
Bel masuk pun berdering sebelum Resty selesai bicara. Mereka bertiga berlarian kebawah dan segera masuk kelas masing-masing.
Hari ini karena jadwal les IPA dan IPS sama, yaitu Bahasa Indonesia, maka lesnya digabung. Kak Rima, Mentor Bahasa Indonesia mereka pun masuk tidak lama setelah semua anak-anak masuk.
“Siang semuanya....kelasnya digabung, ya?” katanya sewaktu melihat kelasnya penuh. “Oke...sekarang kita buka bab tentang puisi.” Katanya lagi. “Puisiyang kita tahu ada puisi lama dan puisi baru.........”
Kak Rima terus menerangkan dengan puisi. Tya yang suka sekali dengan pelajaran Bahasa Indonesia semangat mendengarkan, sedangkan Gia sibuk menggambar di buku paket primagamanya, sedangkan Resty sibuk dengan pikirannya yang melanglang kedunia lain.
Lalu kak Rima menggambar sesuatu dipapan tulis. Ia menggambar sebuah tabel dengan tiga kolom dan dua baris. “Ini salah satu contoh puisi kongkret karya Danato.” Katanya.
“Artinya apa tuh, kak?” tanya Yudha, salah seorang murid.
Kak Rima tersenyum, “Pertanyaan kamu sama seperti pertanyaan saya sewaktu kuliah.” Katanya. “Ada yang mau mengartikan?”
Tya langsung tunjuk tangan.
“Yak...silakan.” kata Kak Rima lalu memberikan spidol pada Tya.
Tya maju kedepan lalu menambahkan beberapa baris lagi dibawah gambar itu. “Ini gedung.”
“Bukan, Kak.” Kata yudha salah satu murid dari IPA. Dia maju dan menghapus baris tambahan yang Tya buat. Lalu ia menambahkan sebuah trapesium didepan kolom itu, ia juga menambahkan dua buah lingkaran dibawahnya. “Ini truk.”
“Bukan, kak.” Kata Dhea. “Itu sebenernya gak perlu ditambahin apa-apa. Itu jendela.”
“Oke...oke...” kata Kak Rima. “Sebenernya Arti dari puisi kongkret ini, yaaaa...tergantung persepsi masing-masing. Kalau kata Tya ini adalah gedung, dia benar. Kalau kata Yudha ini truk., bisa jadi ini memang truk. Kalau kata Dhea ini jendela, benar juga. Dan kalau ada yang mau mengartikan ini ular tangga atau yang lainnya juga bisa. Bebas saja.”
Semua murid mengangguk-angguk.
“Ada lagi contoh lainnya yang pernah dibacakan oleh Tamara Blezenski. Begini contohnya,” kata kak Rima. “A..a..a..a..a..a..a..a...a..a..a..a..a.........luka.”
Semua murid mengerutkan keningnya. Tapi Tya malah tersenyum.
“Ada lagi,” kata kak Rima. “Vi...vi...vi...vi...vi....vi....vi...vi...viva pancasila.”
Tya tersenyum lagi. Ia sungguh kagum dengan keunikan sastra Indonesia. Ia menoleh kepada kedua temannya sambil tersenyum. Tapi baik Resty dan Gia sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang satunya termenung dan yang satunya sedang menggoreskan pensilnya.


No comments: