this is a story about 3 girls from 3 worlds

Thursday, July 06, 2006

bab 3

BAB 3




Roof Primagama Billymoon disore hari. Mereka baru saja selesai les. Karena hari belum begitu gelap, mereka pun foto-foto dulu di atas primagama. Tempatnya sih emang agak berantakan. Banyak puing-puing bekas, kayu-kayu sisa, bahkan bak mandi dan dudukan toilet pun ada. Tapi justru tempat kayak gini yang Gia suka. Lebih natural dan artistik. Karena gak ada model, akhirnya Resty pun harus rela jadi modelnya Gia. Sore itu Resty berkostum tutu [1] berwarna merah yang Gia buat sendiri selama tiga hari tiga malem dengan atasan sabrina lengan panjang warna merah yang diluarnya di dobel dengan kemben hitam. Gia emang sengaja bikin tutu yang agak gedean, soalnya dia tau pasti Resty yang bakal jadi model dadakannya dia. Resty sih pasrah-pasrah aja. Dia udah sering dijadiin objek beginian.
Misalnya kalo Gia butuh model dadakan seperti saat ini, pasti Resty lah yang disuruh. Trus kalo Tya butuh objek penelitian untuk ceritanya, pasti Tya langsung mewawancarai Resty.
“Kayaknya kalo disebelahnya ada payung bagus deh.“ kata Gia berpendapat pada dirinya sendiri. “Payung gue tadi mana, ya, Ty?” tanya Gia.
Tya mendongak dari notebook-nya. “Loh... tadikan lo taro di meja bawah. Lo titipin sama Mbak Cici.”
“Oiya...” kata Gia sambil memukul jidatnya sendiri. “Gue ambil payung dulu, ya.”
“Eh, sekalian beli minum, dong, Gi.” Kata Tya.
“Mending lo ikut kebawah deh.” kata Gia.
“Oke....” kata Tya. “Lo mau minum apa, Res?”
“Mmmm...air putih dingin aja deh, Ty.”
“Sip.”
Mereka berdua pun lari kebawah. Tinggallah Resty sendirian diatas. Daripada bengong, dia pun kipas-kipasan. Gak lama kemudian ia mendengar suara langkah kaki sedang menaiki tangga. Itu pasti Gia atau Tya. Batin Resty.
Tapi dia salah.
“Hai...”
“Eh, Kak Yozi?” kata Resty menyapa orang yang ia kira temannya itu.
Yozi adalah guru les Bahasa Inggris mereka. Umurnya baru sekitar 22-23 tahun. Orangnya baik dan agak pendiem. Mukanya.... sebelas-dua belas sama Christian Bautista, Tapi kulitnya Yozi sedikit coklat. Penampilannya sangat sederhana, tapi sebenernya dia itu anak dari pemilik perusahaan raksasa yang lumayan terkenal. Cuma sedikit orang yang tau tentang Yozi yang sebenernya, termasuk Resty.
Yozi tersenyum sambil menatap Resty dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Bajunya bagus.”
Resty pun jadi malu. “Aaaah... jangan bilang gitu. Aku tau kok ini agak sedikit aneh.”
“Iya, aneh kalo lo kepasar pake baju kayak gini.”
Mereka berdua pun tertawa.
“Tapi beneran lucu kok.” Kata Yozi lagi.
“Gia yang buat.” Kata Resty.
“REEEEES.... “ Tya datang dengan gaduh. “Eh, ada Kak Yozi.” Kata Tya saat sampai diatas lalu memberikan minuman pada Resty.
Yozi cuma tersenyum seperti biasa. “Kalian cepet pulang, ya. Sebentar lagi udah mau gelap. Nanti kalian dicariin.”
“Iya...sedikit lagi, kok.” Kata Gia.
Yozi senyum lagi lalu turun kebawah.
“Ayo, Res... kita mulai lagi.”
Resty dan Gia pun melanjutkan photo session, sedangkan Tya kembali pada notebook-nya.
“Ty, lo masih suka sama Bintang?” tanya Resty disela-sela photo session-nya. Ia tiduran di dalam bak mandi bekas dan masih dengan kostum tutu, sabrina dan kembennya.
“Masih. Kenapa emangnya?”
“Trus... gimana perkembangannya?”
Bukannya jawab, Tya malah senyum-senyum. “Kemaren... gue ngobrol sama dia. Gak, sih... dia yang nanya duluan.”
“Seperti biasa.” Timpal Gia. “Kenapa, sih lo gak pernah bisa memulai suatu pembicaraan sama dia?”
“Iiiiih... biarin. Kan yang penting ngobrol” kata Tya dengan mulut manyun. “Oiya, ini yang ketiga kalinya loooh.”
Resty geleng-geleng. “Dasar Tyaa...Tya. gituan aja pake diitungin.”

***

Di hari senin keesokan harinya, Tya berjalan dengan langkah besar menuju kelasnya. Bukan karena buru-buru, tapi memang begitu lah cara ia berjalan. Kalau Gia berjalan dengan tempo lambat dan Resty berjalan menghentak, ciri khas berjalan Tya adalah berjalan dengan langkah-langkah besar. Akibatnya, saat belokan ia menabrak orang.
“Aduh....” Tya jatuh terduduk.
“Eh, sori...sori....” kata orang itu.
Tya seperti mengenal orang ini. Aduh...ini kayaknya Bintang, deh. Gue kenal banget conversnya yang buluk itu. Dan bagian dalem convers itu warnanya oren. Batin Tya.
Orang yang disinyalir Bintang oleh Tya itu mengulurkan tangan untuk membantu Tya bangun. Tya pun mendongak. Tuh, kan bener dugaan gue. itu Bintang. Batin Tya lagi saat berhasil melihat wajah orang yang ditabraknya.
“Lo gak apa-apa, kan?” tanya Bintang sambil membantu Tya berdiri.
Tya mengangguk sambil menunduk.
“Yang bener?” tanya Bintang lagi sambil membungkuk berusaha melihat mukanya Tya yang tertunduk.
Tya tersentak kaget. “I-iya.... gak apa-apa.” Kata Tya.
“Kalo gitu senyum dong.”
Tya makin keringet dingin. Tangannya keringetan dan kakinya dingin. Gue deket banget sama Bintang. Sekali lagi Tya cuma bisa ngomong dalem hati lalu masang senyum maksa.
“Naaah...gitu dong.” Kata Bintang. “Eh, temenin gue ke kantin yuk. Belom sarapan, nih. Abis tadi berangkatnya buru-buru, jadi belom sempet sarapan. Lagian dikelas juga belom ada orang. Baru anak-anak surga doang sama gue.”
Tya masih terdiam kaku, “Mmmm....”
Tapi sebelum Tya sempat menjawab, Bintang keburu menggeretnya. “Ayoo...nanti keburu rame kantinnya.”
Akhirnya mau gak mau Tya pun ikut Bintang ke kantin.

Di sisi lain, Resty dan Gia yang baru dateng, langsung kaget ngeliat Tya dan Bintang melintas hanya beberapa meter di depan mereka.
“Gak salah tuh Si Tya?” tanya Gia.
“Dia pasti lagi gelagapan deh.”
“Iyaaa...kayak biasa..”
Saat mereka asik berkomentar, tiba-tiba ada sebuah panggilan dahsyat nan menggelegar untuk mereka.
“HEI KALIAN BERDUA!! RESTY...GEORGIA.”
“Mampus....Pak Asep.” Kata Gia yang hapal betul dengan suara yang menggelegar itu.
Mereka pun balik badan dan saat itu pula mereka melihat Pak Asep sedang melototin mereka sambil tolak pinggang.
“Ya, Pak.” Jawab Resty.
“YA PAK...YA PAK.” Kata Pak Asep. “MASUKAN BAJU KALIAN!! ATAU SAYA IKAT PAKAI TALI, YA!!”
“I-iya, Pak.” Kata Gia.
Mereka berdua pun segera merapikan baju mereka lalu pergi dari situ secepatnya.


Sementara itu, di kantin yang belum banyak orang, Tya dan Bintang duduk di kursi deretan tengah. Kursi kanti yang jarang Tya dudukin. Biasanya, ia dan teman-temannya lebih suka duduk di pojok kantin dan mengamati suasana kantin dari sana. Dan saat itu pula, walaupun hanya sedikit, tapi setiap orang yang lewat meja mereka, pasti ngelirik. Gak ada yang absen melirik iri. Mulai dari fans-fans fanatiknya Bintang sampe orang-orang yang cuma heran doang.
“Kok...lo gak makan, sih?” tanya Bintang.
“Udah...”
“Dimana?”
“Rumah...”
“Emangnya sempet?”
Tya ngangguk doang.
“Makan apa?”
“Mie...”
Tya mulai ngerasa dirinya udah kemasukan roh Gia yang kalo ngomong irit. Tya akhirnya janji sama dirinya sendiri, pertanyaan berikutnya, gue akan jawab panjang lebar. Tapi baru aja dia bulatin tekad untuk ngomong panjang, Bintang pun bangun dari duduknya dan pergi ninggalin Tya.
Lho? Kok pergi? Emang makannya udah, nih? Tapi kan dia baru makan tujuh suap *Tya sampe ngitungin jumlah suapan Bintang*. Tapi gak lama kemudian Bintang balik lagi sambil bawa roti keju sama air mineral.
“Nih...” kata Bintang sambil menaruh roti dan air di depan Tya lalu melanjutkan makannya.
Tya makin gak ngerti. Dia diem aja mandangin roti itu.
“Lho...kok cuma diliatin aja? Dimakan dong. Sarapan Mie aja kan gak ngenyangin. Gak ada gizinya, lagi.” kata Bintang.
“I-iya....” kata Tya sambil nyengir kuda makan lalu memakanroti yang dibeliin Bintang. Sambil makan, Tya menelaah kata-kata Bintang. Tunggu..tunggu. Tadi Bintang ngomong apa? Gizi? Orang kayak dia ngomongin soal Gizi? Gak salah? Batin Tya.
Terlepas dari soal gizi, gak tau kenapa rasa rotinya jadi enak dilidah Tya. Padahal itu roti goreng yang atasnya ditaburin keju dan dalemnya diisi mentega. Kebayang kan rasanya asin-asin gitu? Lagi pula Tya lebih suka yang coklat atau stroberi. Dulu Resty pernah ngewanti-wanti kalo rasa roti keju yang dikantin gak enak. Makannya semenjak itu, mereka bertiga gak pernah beli roti itu. Bahkan Tya baru ngerasain roti keju itu hari ini.
“Gue gak tau lo suka rasa apa jadi gue beliin keju aja, soalnya gue suka keju.” tanya Bintang. “Enak gak?”
Tya ngangguk-ngangguk.
Tapi kemudian dia ingat janjinya pada dirinya sendiri. “Enak... enak banget. Oiya, lo percaya gak gue baru makan roti ini hari ini?” kata Tya. Aduuuuh....gak penting banget sih gue ngomongnya. Dasar bego!! Tya nyadar sendiri
“Masak, sih?” tanya Bintang gak percaya. Mukanya bener-bener gak percaya.
“Iya....gara-gara temen gue bilang gak enak gitu deh, jadinya gue gak pernah beli roti itu.”
“Makanya...cobain dulu. Enak kan?” Kata Bintang.
Tya ngangguk-ngangguk lagi. “Iya...”


Gia sedang berada disebuah sudut sekolah. Ia sedang mewawancarai salah satu murid berprestasi untuk buku tahunan. Nama murid itu sebenarnya Doni, tapi anak-anak satu sekolah memanggil dia Si Mr. Tanpa Ekspresi atau disingkat SMTE. Mereka memanggil Doni begitu bukan tanpa alasan, tapi Doni memang orang yang seperti itulah adanya. Kalau diajak ngomong jawabannya datar dan tanpa ekspresi. Tapi untungnya dia punya kelebihan. Yaitu otak super canggih melebihi komputer.
Aduuuuh...kenapa pagi-pagi begini gue disuruh wawancarain SMTE, sih? Batin Gia. Mana nih orang aneh banget. Gia pun membetulkan letak kacamatanya, begitu juga SMTE.
“Ok...kita mulai wawancaranya, ya.”
SMTE mengangguk.
Gia pun menyalakan alat perekamnya dan mulai mewawancara SMTE.
“Oke, Don...lo kan siswa paling berprestasi disekolah. Sebenernya apa, sih rahasia lo supaya bisa terus berprestasi?”
“Yaaaaa....saya tidak punya rahasia apa-apa. Saya orang yang jujur dan terbuka apa adanya.” Jawabnya dengan muka tanpa ekspresi.
Gak nyambung! Batin Gia. Ia berusaha sabar.
“Bukan...maksud gue...kiat-kiat lo untuk tetap berprestasi.”
“Yaaaaa....belajar yang giat.”
Basi!!
“Oke...trus kalo menurut lo belajar yang baik tuh kapan?”
“Belajar yang baik yaaa...pada saat kita sedang berkonsentrasi.”
Aaaaaaarrrrggghhhh!! Ganti pertanyaan!!
“Menurut lo bagaimana belajar yang baik itu?” tanya Gia.
“Duduk dimeja belajar, penerangan cahaya yang baik, tidak tiduran.”
Nenek-nenek mau mati juga tau!! Gia sudah mulai tidak sabar dengan orang aneh yang satu ini. Sebenernya dia beneran orang pinter bukan, sih? Kok lebih mirip orang idiot, ya?! Batin Gia.
“Trus... sebenernya cita-cita lo apa, sih?”
“Itu....dulu waktu kecil..saya pengenjadi dokter. Tapi waktu umur saya sepuluh tahun berubah pengen jadi kasir. Waktu umur saya tiga belas, saya pengen jadi astronot. Waktu umur saya enam belas, saya pengen jadi pilot.”
Gia berusaha untuk tetap sabar lalu membenarkan kacamatanya lagi begitu juga SMTE. “Ka-kalo cita-cita yang sekarang?”
SMTE menggelengkan kepalanya, “Belum terpikirkan tuh.”
“O-oooh.....” Gia pengen ngebejek-bejek kepalanya SMTE sampe ancur.


Resty sedang berjalan menuju ruang BP3. hari ini dia mau bayaran sekolah. Ia berjalan dengan terburu-buru, takut keburu bel.
“Hai, Res....” sapa Vino sambil mensejajari langkahnya dengan Resty.
Resty hanya menoleh sebentar sambil terus berjalan.
“Buru-buru banget, sih?”
“Lo gak liat gue mau bayaran?”
“Eeee.... hari ini mau kerumah gue, gak?”
“Gue gak bisa. Ada les.”
“Emangnya gak bisa bolos sehariiiii aja. Temenin gue dirumah.”
“Kalo gue bilang gak bisa, ya gak bisa.” Kata Resty lalu masuk ke ruang BP3.
Vino menyerah.


“Eh...itu buku apaan sih?” tanya Bintang sambil nunjuk buku yang dari tadi dia kekepin terus.
“Buku ini?” kata Tya balik bertanya sambil menunjuk buku yang dia kekepin. “Ini buku...apa, ya? Gue juga bingung nyebutnya.”
“Emangnya isinya apaan?”
“Isinya ide-ide yang masih mentah gitu deh.”
“Ide apa?”
“Ide...cerita.”
Suasanya mulai cair.
“Emangnya lo lagi buat cerita?”
“Iya.”
“Tentang apa?”
“Hmm....masih rahasia.”
“Nanti kalo udah selesai boleh gue baca gak?”
“Boleh. Tapi masih lama.”
“Ya gak apa-apa. Gue tunggu.”
Tya tersenyum. “Beneran?”
“Iya.... beneran lah. Kenapa emangnya?”
“Enggak... gak apa-apa kok.” Kata Tya sambil menggeleng.
Bintang pun melanjutkan makannya. Saat itu Tya baru menyadari sesuatu. Empat kali aja. Dan yang ini obrolan gue yang paling panjang sama Bintang. Kata Tya sambil senyum-senyum sendiri.
“Oiya, Ty....”
“Apa?”
“Lo suka binatang gak?”
“Suka....” kata Tya. “Kenapa emangnya?”
“Mmmm.... Jumat ini kan guru-guru rapat, jadi kita libur. Mau gak lo temenin gue.”
Tya kaget setengah mati. Ini berarti dia bakal pergi sama Bintang. Pergi sama Bintang!!! Teriak Tya dalam hati.
“Eeee....kemana?”
“Bukan ketempat yang bagus, sih.” kata Bintang. “Gue mau ke Pasar Parung Bogor. Mau beli ikan.”
Tya diem aja. Bukannya gak mau, tapi dia seneng banget. Gak peduli mau pergi kemana, tapi yang jelas perginya sama Bintang.
“Kalo gak mau, sih gak apa-apa. Gue cuma ngajak doang kok.”
“Siapa bilang? Gue mau kok.” Kata Tya. “Gue pernah beberapa kali kesana sama bokap.”
“Oiya? Beneran, nih?”
Tya ngagguk-ngagguk.
“Kalo gitu gue minta alamat lo boleh?”
“Hah? Alamat?”
“Iya, biar jumat pagi gue bisa jemput lo.”
“Oke...sebentar, ya...” kata Tya lalu menulis alamatnya diselembar kertas dan menuliskan alamat rumahnnya.


Gia menaruh recorder-nya dimeja Kenneth, ketua buku tahunan. Gia memang bagian dari panitia buku tahunan, tapi ia dibagian design. Berhubung panitia buku tahunan super sibuk, makanya terkadang mereka mengerjakan yang bukan menjadi tugas mereka. Singkatnya saling membantu.
“Gimana? Lancar?” tanya Kenneth.
“Gigi lo lancar. Lo dengerin aja sendiri SMTE ngomong apa. Gak nyambung!”
Kenneth tertawa. “Oke...makasih, ya, Gi....”


[1] Rok balet.

No comments: